Thursday, December 30, 2010

Prof. Dr. H.M. Rasjidi: Cendekiawan Besar yang Ditenggelamkan




Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam di Indonesia, nama Prof. Dr. Rasjidi tidak mungkin dibuang begitu saja. Menteri Agama RI yang pertama ini tercatat sebagai salah satu tokoh Islam terkemuka dan perintis tradisi intelektual di Indonesia. Gelar doktornya diraih di Universitas Sorbonne, Paris, tahun 1956. Disamping berbagai buku penting telah ia lahirkan, Rasjidi juga pernah menjadi pengajar di McGill University, Kanada. Tapi, meskipun akrab dengan pusat studi Islam di Barat, Rasjidi termasuk sedikit cendekiawan yang selamat dari jebakan pemikiran kaum orientalis. Ia bahkan kemudian menjadi salah satu pengkritik yang tajam dari pemikiran-pemikiran kaum orientalis dan pengikutnya di Indonesia.

Siapakah Rasjidi? Lelaki bertubuh mungil ini memiliki nama kecil Saridi. Ia lahir di Kotagede Yogyakarta pada Kamis 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Ia anak kedua dari Bapak Atmosugido. Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah Muhammadiyah Yogyakarta. Rasjidi kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di perguruan Al Irsyad al Islamiyah, Malang, dibawah pimpinan Syekh Ahmad Surkati, pendiri organisasi Al-Irsyad Islamiyah. Rasjidi termasuk yang sangat tinggi semangat mencari ilmunya, karena ia diajar oleh guru-guru yang bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari Mesir, Sudan dan Mekkah.

Syekh Ahmad Surkati pendiri al Irsyad al Islamiyah, mendidik langsung Rasjidi dengan seksama. Menurut Surkati, Rasjidi adalah anak yang tekun dan cerdas, sehingga dicintai guru-gurunya. Kepandaian Rasjidi dalam bahasa Arab – mampu menghafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik dalam usia 15 tahun — menjadikannya diangkat sebagai asisten pelajaran gramatika bahasa Arab. Dalam usia remaja itu, Rasjidi juga hafal buku Logika Aristoteles yang berjudul “Matan as Sullam.”

Perkenalannya dengan banyak guru-guru Timur Tengah itu, menjadikan Rasjidi bersemangat untuk melanjutkan studinya di Mesir. Di Mesir, selain mempelajari ilmu-ilmu agama, di Sekolah Persiapan Darul Ulum (setingkat Sekolah Menengah) ia juga diajar aljabar, ilmu bumi, sejarah dan lain-lain. Rasjidi menguasai bahasa Perancis, Inggris, Arab dan Belanda tentunya. Ia pun menjadi seorang hafizh, hafal al Qur’an 30 juz.

Soebagijo IN menceritakan: “Dengan diantar oleh Syekh Thantawy Djauhary pengarang Tafsir al Jawahir yang masyhur serta sahabat karib Syekh Ahmad Surkati, dia mendaftarkan ke Sekolah Persiapan untuk memasuki Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum (kelas III)...Rasjidi diuji untuk masuk kelas V. Di kelas itu dia belajar 8 bulan lamanya, dan akhirnya berhasil meraih diploma Sekolah Menengah Umum dengan agama dan hafal al Qur’an secara lengkap, yakni 30 juz Al Qur’an, di samping mendapatkan sertifikat untuk mata pelajaran bahasa Inggeris dan Prancis. Karena di sana berlaku sistem Prancis, maka di Mesir diploma Sekolah Menengah Lanjutan disebut surat ijazah Baccalaureat. Dengan ijazah Baccalaureat itu, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan tinggi.”

Pilihannya kemudian diarahkan ke Universitas al Azhar, Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence. Di kelas itu mahasiswanya hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari Mesir, Albania dan Sudan.

Setelah kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret 1956, Rasjidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu dengan disertasi berjudul l'Evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).

HM Rasjidi adalah Menteri Agama RI pertama. Di pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, ia pernah terlibat diantaranya dalam organisasi PII dan Masyumi. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University.

Banyak buku telah ditulisnya, baik karya sendiri maupun terjemahan. Karya-karya asli Rasjidi antara lain : Islam Menentang Komunisme, Islam dan Indonesia di Zaman Modern, Islam dan Kebatinan, Islam dan Sosialisme, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam, Agama dan Etik, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Hendak Dibawa Kemana Umat Ini? Sedangkan karya terjemahnya antara lain: Filsafat Agama, Bibel Qurán dan Sains Modern, Humanisme dalam Islam, Janji-janji Islam dan Persoalan-persoalan Filsafat.

Dalam khasanah pemikiran Islam di Indonesia, Nama Rasjidi seperti sengaja ditenggelamkan. Saat mengajar di McGill, Rasjidi-lah yang membawa Harun Nasution untuk melanjutkan studi di McGill. Bahkan, selama satu tahun, ia memberikan tumpangan rumah kepada Harun Nasution. Toh, Rasjidi kemudian tidak kehilangan sikap kritis terhadap sahabat dekatnya itu.

Ketika buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dijadikan sebagai buku pegangan di Perguruan Tinggi Islam, tahun 1973, Rasjidi segera memberikan kritik-kritik tajamnya. Setelah menunggu dua tahun surat pribadinya tidak dijawab oleh Menteri Agama, ia kemudian menerbitkan bukunya yang berjudul: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.

Tentang buku Harun Nasution tersebut, Rasjidi menyatakan: “Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”

Kritik Rasjidi dianggap angin lalu saja. Buku Harun Nasution dijadikan buku pegangan wajib, tanpa menyertakan kritik dari Rasjidi. Bisa dipahami, jika banyak mahasiswa yang kemudian mengenal dan menjadi pengikut setia pemikiran Harun Nasution. Padahal, Rasjidi sudah mengingatkan, cara pandang buku tersebut terhadap Islam adalah “sangat berbahaya”.

Tahun 1972, ketika ribut-ribut tentang pemikiran Nurcholish Masjid tentang sekularisasi, Rasjidi juga mengangkat pena dan menulis buku berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisme. Buku itu pun ia luncurkan setelah upaya pendekatan secara pribadi gagal dilakukan. Sebagai guru besar di Universitas Indonesia, Rasjidi tak segan-segan menasehati Nurcholish yang ketika itu masih sarjana S-1. Setelah memberikan kritiknya, Rasjidi menulis: “... jika Saudara sudah pernah membaca uraian semacam ini, dan Saudara tetap dalam alam sekularisasi dan desakralisasi Saudara, maka saya hanya dapat berkata: “Saya telah melakukan kewajiban saya, watawasau bil-haqqi watawasau bissabri.”

Penulis: Nuim Hidayat

sumber : http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=109:prof-dr-hm-rasjidi-cendekiawan-besar-yang-ditenggelamkan-&catid=16:sosok&Itemid=14

Sosiologi Politik Bag 1

Sosiologi Politik

Bag 1

Pengertian Sosiologi Politik

Terdapat beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh sosiologi. Benang merahnya adalah bahwa sosiologi pada dasarnya memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut sosiologi, masyarakat sebagai tempat interaksi tindakan-tindakan individu di mana tindakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat. Sosiologi juga memahami tentang lembaga sosial dan kelompok sosial yang merupakan bagian dari masyarakat sebagai unit analisis sosiologi. Selain itu sosiologi juga mempelajari tentang tatanan sosial serta perubahan sosial.

Politik berkaitan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana. Perlu untuk dipahami bahwa tujuan yang telah ditentukan tersebut merupakan tujuan publik dan bukannya tujuan individu.

Sedangkan sosiologi politik dasarnya berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem politik, yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya.

Sumbangan Pemikiran Teori Klasik pada Sosiologi Politik

Dari beberapa tokoh teori klasik sosiologi ada beberapa tokoh yang dianggap banyak memberikan kontribusi dalam hal teori yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai dasar berpikir dalam menjelaskan sosiologi politik. Tokoh tersebut antara lain adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiganya dapat dianggap sebagai tokoh yang utama dalam teori klasik.

Meskipun ketiganya tidak secara jelas menjelaskan tentang sosiologi politik tetapi teori-teori dan konsep-konsep mereka tersebut dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam tentang sosiologi politik dengan berdasarkan teori sosiologi klasik.

Persamaan ketiga tokoh tersebut dalam menjelaskan teorinya adalah:

  1. Memberikan analisis secara makro

  2. Penjelasan bersifat komparasi sejarah

  3. Mengemukakan adanya perubahan sosial

  4. Teorinya dapat diterapkan di semua tipe masyarakat

Setiap tokoh mempunyai pendekatan dan konsep yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam sosiologi politik. Marx dengan pendekatan materialisme historis dengan konsep tentang kelas, eksploitasi, alinasi, negara serta ideologi. Pendekatan Weber adalah analisis tipe ideal dan sosiologi intepretatif, dengan konsep rasionalisasi, otoritas, kelompok status serta partai politik. Sedangkan pendekatan Durkheim adalah fungsionalisme sosiologis melalui konsepnya solidaritas sosial, anomie dan kesadaran kolektif. Konsep kekerabatan, agama, ekonomi, stratifikasi dan sistem nilai dan kepercayaan bersama merupakan faktor-faktor sosial budaya yang banyak memberikan pengaruh pada pelaksanaan sistem politik, di mana masing-masing tokoh akan mengemukakan hipotesisnya dalam pelaksanaan kegiatan politik.

Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Sikap Perilaku Politik Individu

Keluarga

Dari urain di atas nampak bahwa peranan kehidupan keluarga dalam mendorong partisipasi politik seseorang cukup signifikan. Setidaknya dalam keluarga yang memiliki minat politik yang tinggi, cenderung homogen dalam pilihan politik, ditambah dengan tingkat kohesi keluarganya yang cukup tinggi, kecenderungan seorang anak untuk berpartisipasi dalam politik sebagaimana kehidupan politik keluargannya relatif tinggi.

Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya karena:

  1. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak

  2. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua

  3. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga

  4. Tingkat minat orang tua terhadap politik

  5. Proses sosialisasi politik keluarga


Agama dan Ekonomi

Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu adalah agama yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam keluarga antara lain mengajarkan tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua. Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas politik dan agama. Sementara organisasi keagamaan di luar rumah pada kenyataannya juga mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama yang memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Selain itu secara ekonomi melalui partisipasi dalam serikat-serikat pekerja juga dapat mendorong individu untuk ikut serta dalam kegiatan politik. Organisasi pekerja merupakan ajang kampanye dan mobilisasi massa untuk dapat ikut berpolitik.

Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan

Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik sosialisasi, aktivitas budaya, dan pengalaman sosialnya. Tingkat partisipasi individu dalam voting dilukiskan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, dan status individu tersebut.

Perilaku politik individu juga dipengaruhi oleh sistem nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dimana individu tersebut tinggal. Pada masyarakat Indonesia dijumpai sistem nilai dalam bermusyawarah. Sementara itu di Amerika Serikat sistem sekolah dianggap sebagai agen sosialisasi politik.

Pengertian Sosialisasi Politik

Terdapat berbagai macam definisi untuk mengartikan pengertian sosialisasi politik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses internalisasi nilai, pengenalan dan pemahaman, pemeliharaan dan penciptaan, serta proses eksternalisasi nilai-nilai dan pedoman politik dari individu/kelompok ke individu/kelompok yang lain. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Agen-agen Sosialisasi Politik

Dalam suatu proses sosialisasi nilai dan perilaku politik diperlukan agen-agen sosialisasi yang merupakan pihak yang melakukan transfer nilai. Agen pertama adalah keluarga dimana individu menerima warisan nilai-nilai pada tahap awal dalam hidupnya. Sosialisasi ini dapat terjadi secara represi atau partisipatoris. Sekolah juga merupakan agen sosialisasi politik sebab sekolah menjalankan fungsi transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan sikap yang di dalamnya juga termasuk ilmu, nilai, dan sikap politik. Sosialisasi politik juga dapat melalui teman sebaya (peer group) yang sifatnya informal. Agen sosialisasi terakhir adalah media, dimana berita yang dilihat atau dibaca setiap hari merupakan sosialisasi yang efektif.

Pengertian Partisipasi Politik

Bertitik tolak dari beberapa definisi di atas, maka partisipasi politik secara umum bisa dikatakan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya.

Di sisi lain, partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang ada. Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk legitimasi dari sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan rakyat baik terhadap pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya maupun bagi sistem politik yang diterapkannya.


Bentuk dan Model Partisipasi Politik

Partisipasi pada dasarnya merupakan kegiatan warga negara dalam rangka ikut serta menentukan berbagai macam kepentingan hidupnya dalam ruang lingkup dan konteks masyarakat atau negara itu sendiri. Karena itu partisipasi itu sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya. Bagaimana pun, ekspresi orang dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai macam permasalahan dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan berbeda-beda. Uraian di atas memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai suatu bentuk kegiatan atau aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa dilihat sebagai bentuk kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau dimobilisasi. Ia bisa dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri. Kemudian dapat pula dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak melembaga sifatnya, dan seterusnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang adalah berdasarkan tinggi rendahnya dan kombinasi kedua faktor tersebut menghasilkan model partisipasi politik.

Sumber Buku Sosiologi Politik Karya Arie Soesilo

Baca Tulisan yang lain

Sosiologi Politik Bag.. 2 >>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Lihat

Perubahan Sosial dan Perspektif Sosiologi >>> Lihat

Sosiologi Komunikasi Massa >>> >>>>>>>>>>>Lihat

Konsep Dasar Sosiologi Simmel Serta Max Weber >>>>>>> Lihat

http://massofa.wordpress.com/2008/03/26/sosiologi-politik-bag-1/

Wednesday, December 22, 2010

BENARKAH ISLAM DISEBARKAN DENGAN PERANG





Beberapa hari ke belakang, media massa di Indonesia melaporkan tentang aksi protes para pemuka muslim di dunia, khususnya di Indonesia atas pernyataan Paus Benediktus XVI bahwa Nabi Muhammad saw. menyebarkan Islam dengan kekerasan. Ini merupakan gambaran stigmatik sebagaian tokoh Barat tentang Islam. Dan ini terus berulang. Bahkan, gambaran stigmatik serupa pernah menyeruak ke permukaan dalam kasus poster Nabi Muhammad. Tentu saja harus ada upaya pelurusan terhadap kekeliruan-keleliruan ini. Benarkah Islam disebarkan dengan pedang? Islam sesungguhnya disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang. Perhatikan argumentasi historis berikut:


Pertama, ketika berada di Mekkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai dengan senjata dan harta. Kendatipun demikian, banyak pemuka Mekkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin al-Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam. Mungkinkah untuk dikatakan bahwa mereka masuk ke dalam Islam dengan kekuatan? Berkaitan dengan ini, Ustadz al-Aqqad, dalam buku ‘Abqariyyah Muhammad, mengatakan bahwa banyak orang Mekkah masuk Islam bukan karena tunduk kepada senjata, melainkan karena motivasi untuk mengorbankan jiwa raganya dalam mengangkat senjata demi jalan Allah.


Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata?

Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani `Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam. Mungkinkah Islam tersebar di kalangan pasukan Salib dengan senjata?

Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Bagdad, ibu kota khilafah `Abbasiah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah `Abbasiah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam. Mungkinkah Islam tersebar di tengah-tengah orang Mongol dengan senjata?

Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak daripada masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.

Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dengan peperangan yang terjadi antara muslimin dengan Persia dan Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para da’i menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam terutama mereka yang tertindas oleh penguasa mereka – masuk Islam. Fage Roland Oliver, dalam bukunya A Short History of Africa, menjelaskan bahwa Islam tersebar di Afrika justru ketika daulah-daulah Islam di sana telah runtuh. Islam tersebar di sana melalui peradaban, pemikiran, dan dakwah Islamiyah. Karenanya, masuklah orang-orang Barbar ke dalam Islam yang kemudian nanti memainkan peranan penting dalam sejarah Islam.

Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika. Kekuatan apa yang dibawa oleh para penyebar Islam di sana. Islam diajarkan oleh orang-orang dari Hadramaut yang mempunyai peradaban terbatas, tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakan Islam dalam kefakiran.

Kedelapan, peneliti keislaman Jerman Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah.

Motivasi Peperangan Dalam Islam

Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan. Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah:

Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diijinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. `Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu. Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan Umat Islam meminta ijin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengijinkan karena belum ada suruhan dari Allah. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah akhirnya–-karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengijinkan mereka berperang (QS. al-Hajj [22]:37). Kendatipun dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS. Al-Baqarah [2]:190). Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam tidak senang berperang. Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Namun, penyerangan itu pun tidak dilakukan. Ini juga membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di kalangan orang-orang Islam hanyalah untuk mempertahankan diri dan tidak berlebih-lebihan.

Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah yang dibawa Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Mekkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS. al-Fath [48]:25). Banyak kalangan penduduk Mekkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengijinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.

Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi–dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam. Tahun 629 M. Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M. Farwah bin Umar al-Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad al-Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita keislaman sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib. Atas peristiwa-peristiwa itu dalam sejarah kemudian dikenal dengan kasus Beli dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya. Nabi kemudian mengumumkan perang pula dengan mereka. Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satu ayat pun atau satu kejadian pun dalam sejarah permulaan Islam yang mengisyaratkan bahwa Islam disebarkan dengan peperangan (senjata). Peperangan yang terjadi hanyalah karena terpaksa untuk membela diri, melindungi dakwah dan kebebasan beragama, serta melindungi umat Islam dari serangan Romawi dan Persia.

Oleh : Dr Rosihon Anwar

(Dimuat di Harian Umum Republika, 29 September 2006)

Sumber : http://rosihonanwar.blogspot.com/

Monday, December 20, 2010

Amal Ma’ruf Dan Nahi Mungkar







Amar Ma’ruf wa Nahyu Anil Mungkar adalah amalan yang terpuji yang banyak disebut oleh Allah swt didalam Al-Quran. Antaranya Allah swt menyatakan umat yang melakukan amal ma’ruf ini adalah umat yang berjaya(al-muflihun) dan umat yang lebih daripada umat yang lain, firman Allah swt : “ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung(Ali Imran 104 ). “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik “( Ali Imran :110 )

Di dalam hadith Rasulullah Saw beliau menditilkan bagaimana makanisma yang perlu diambil untuk mencegah kemungkaran. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad Abi Sa’id Al-Khudry ra. ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Artinya: siapapun di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangan, jika tidak sanggup mengubah dengan tangannya, hendaklah dia mengubah dengan lidah dan jika masih tidak sanggup, hendaklah ia mengubah dengan hati. Dan itulah iman yang paling lemah. (HR Imam Muslim) di dalam hadith ini, Nabi menyatakan bahawa mencegah kemungkaran dengan tangan (kekuatan), lidah dan hati merupakan satu kewajiban. Ini kerana sesiapa yang redha dengan kemungkaran yang dilakukan, ia juga tidak terlepas daripada dosa.

Peringkat yang paling tinggi di dalam mengubah kemungkaran ialah dengan tangan/kuasa manakala yang paling rendah ialah dengan hati. Inilah yang dikatakan mencegah kemungkaran yang sebenar. Akhir-akhir ini kita dapati ramai orang tidak suka mencegah kemungkaran dan mengelak dengan berbagai alasan. Antaranya ada beralasan seperti “ buat apa kita jaga tepi kain orang” atau “dia sudah dewasa boleh berfikir tak perlu lagi kita tegur”. Istilah-istilah seperti ini sebenarnya salah dan jauh dari kebenaran. Sikap seperti ini juga boleh dikatakan sebagai sikap “ nafsi-nafsi atau individualistik” yang berpunca daripada kejahilan diri sendiri terhadap syariat dan pengaruh luar, jika diibaratkan seperti kain buruk yang dilemparkan ke dalam masyarakat kita tetapi dengan secara tidak sedar kita memakainya. Amirul Mu’minin Umar Al-Khattab pada saat dia menjadi khalifah dia mengharapkan teguran daripada rakyatnya semasa dia berkhutbah. Ini kerana ia mengaku bahawa dirinya adalah manusia yang tidak terlepas daripada dosa dan silap. Sikap individualistik ini perlu dibuang kerana dibimbangi kita tidak akan termasuk walaupun dikalangn mereka yang selemah-lemah iman.

Dakwah Menyeru Kepada Iman

Allah swt menyuruh untuk kita beriman kepadanya. Agama bukan semata-mata menekankan aspek teknologi dan sains semata-mata seperti yang difahami sebahagian orang. mereka mengganggap bahawa agama datang untuk membangunkan tamaddun dan kemajuan sains dan teknolokogi semata –mata, seolah-olah ianya sebagai matlmat di dalam berugama. Memang betul ia adalah keperluan didalam Islam sendiri bahkan menjadi kewajiban fardhu kifayah bagi umat Islam untuk membangunkan unsur kekuatan tersebut sebagaimana yang difahami daripada firman Allah yang bererti :

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).( Al Anfaal 8; 60)

Allah menyuruh supaya kita bersedia dengan kelengkapan perang yang hebat, yang boleh menggentarkan musuh . Di sini Allah juga mengisyaratkan kuda, maksudnya ialah senjata yang paling canggih itu apa? sekarang ini mungkin boleh dikatakan seperti bom nuklier, roket , jet perang, dan sebagainya, yang dapat menggerunkan musuh-musuh Islam. Kelengkapan-kelengkapan ini tidak boleh dibangunkan dengan sempurna tanpa adanya kemajuan sains dan teknologi.

Namun ia bukanlah segala-galanga, sains dan teknologi merupakan wasilah (perantara) untuk kesiapan bagi kesempurnaan untuk memelihara ajaran Islam dan Iman dari serangan musuh. Ia juga bertujuan untuk memberi kemaslahatan kepada umat Islam, menjaga maqasidul Syariah, bertujuan membalas kejahatan musuh-musuh Islam dan menimbulkan rasa takut, sehingga hal dapat menghalangi musuh untuk melakukan peperangan dan serangan .

Tamaddun, sains dan teknologi bukan segala-galanya jika tidak didasari dengan keimanan. Buktinya Allah swt telah menghancurkan kaum Add, Samud, Saba dan firaun. Mereka mempunyai tamaddun yang tinggi dan tekonologi yang hebat namun dibinasakan disebabkan mereka melanggar perintah dan tidak beriman. Al-Qur'an secara khusus menarik perhatian kita terhadap kenyataan bahwa sebagian besar dari umat terdahulu yang dihancurkan ketika mereka memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Di dalam Al Qur'an, sifat-sifat dari kaum-kaum yang dihancurkan ditekankan sebagai berikut:

Dan berapa banyakkah umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?.(QS Qaf 36).

Dalam ayat tersebut, menurut Dr Harun Yahya dua sifat dari kaum yang telah dihancurkan secara khusus ditekankan. Yang pertama adalah mereka merasa "lebih besar kekuatannya". Hal ini berarti bahwa masyarakat-masyarakat yang telah dibinasakan tersebut telah berada dalam suatu tingkat kedisiplinan dan system birokrasi militer yang tangguh dan merenggut kekuatan di wilayah mereka berada memalui dengan cara paksaan kekuatan. kedua adalah masyarakt-masyarakat yang telah disebutkan dimuka mendirikan kota-kota besar yang dihiasai dengan karya-karya arsitektur mereka.

Oleh : Ahmad Syahin

Medan, 20.10.2010