Demokrasi Terpimpin ialah, demokrasi yang didominasi oleh presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsure sosial-politik[1]. Pengertian lain demokrasi terpimpin biasa ditemukan juga dalam pidato kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan Kembali Revolusi kita “ Dikatakan oleh Soekarno, butir-butir pengertian demokrasi terpimpin terdiri dari Pertama tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara. Kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Sementara menurut Syafei Maarif, sebelumnya Soekarno memberikan berbagai definisi demokrasi terpimpin yang seluruhnya tidak kurang dari dua belas definisi. Salah satu fomulasinya menyebutkan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Pada kesempatan lain, Soekarno mengemukakan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki libralisme dan tanpa otokrasi dictator.
“ demokrasi kekeluargaan yang dia ( Soekarno, pen) maksudkan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan muafakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani seorang “ sesepuh” seorang tua yang tidak mengdiktatori, tetapi memimpin, mengayomi. Siapa yang dia maksudkan dengan terma –trema ‘sesepuh’ atau ‘teteua’ pada waktu itu tidak lain hanyalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia ”.[2]
Dekrit Presiden 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepimpinan yang kuat. Secara agak rinci pengertian Demokrasi Terpimpin biasa diambil dari Soekarno dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1957 dan 1958 yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.
Pertama, ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi, seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan yang tidak terbina, belum utuhnya wilayah RI karena masih ada wilayah yang dijajah Belanda, instabilitas nasional yang ditandai oleh jatuh bangunnya kabinet serta pemberontakan daerah-daerah.
Kedua, kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme, pemilihan demokrasi liberal tanpa pimpinan dan tanpa disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan keperibadian Indonesia, serta sistem multipartai berdasarkan pada maklumat Pemerintahan tanggal 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan alat pengabdi rakyat.
Ketiga, suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan sistem politik demokrasi yang menuntunkan untuk mengabdi kepada negara dan bangsa yang beranggotakan orang-orang jujur .
Keempat, cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
1. Mengganti sistem free fight – liberalism dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai dengan keperibadian bangsa Indonesia.
2. Dewan Perancang nasional (Depernas) akan membuat blue-print masyarakat yang adil dan makmur.
3. Hendaklah konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut dan segera menyelesaikan pekerjaanya agar blue-print yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante.
4. Hendaklah konstituente meninjau dan memutuskan masalah demokrasi terpimpin dan masalah kepartian.
5. Perlu penyederhanaan sistem kepartian dengan mencabut Maklumat Pemerintahan tanggal 3 November 1945 yang telah memberi jalan bagi sistem multipartai dan menggantinya dengan Undang-Undang kepartian serta Undang –Undang Pemilu.
Demokrasi terpimpin juga tidak sunyi dari kritikan. Kritik atau penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada keraguan “ apakah dengan kekuasaan yang berpusat ditanganya itu, Soekarno bisa konsisten dengan teorinya? ” Yusuf Abdullah Puar, seperti dikutip oleh Syafi, pernah menulis bahwa Natsir, tokoh Masyumi, mengatisipasi :
“ Bahawa segala-galanya akan ada di dalam demokrasi terpimpin itu, kecuali demokrasi, segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa … dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan diktator, suatu diktator sewenang-wenang.”
Menurut Soepono Djojowando, selain maksud-maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksi-reaksi penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada alasan, bahawa pengertian terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan , sedangkan istilah terpimpin sudah menghilangkan (minimal mengurangi) kebebasan. Oleh sebab itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak–tidaknya pasti menuju kea rah diktator. Dan ada pula yang menghubungkan demokrasi terpimpin dengan komunis.
Sejarah membuktikan, apa yang dikhuwatirkan para penentang demonstrasi terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melaksanakannya jauh dari apa yang diteorikan. Seperti telah dikemukakan di atas, Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959, telah menjadi jalan lurus bagi sistem demokrasi terpimpin yang rialitasnya tidak demokratis, malah telah menjelmakan Soekarno menjadi diktator. Deliar Noer misalnya, menulis bahawa demokrasi terpimpin justeru memperlihatkan “ hilangnya demokrasi dan yang tinggal hanya terpimpinya “ . Soekarno benar-benar melaksanakn keinginanya, lebih-lebih setelah Hatta mengundurkan diri dalam jabatanya sebagai wakil presiden. Konstituante dan DPR yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu dibubarkan, kemudian membentuk Dewan Nasional yang pada gilirannya dibubarkan sendiri juga.
Politik Islam Zaman Orde Baru
Gagalnya pemeberontakan G-30 S / PKI dan jatuhnya kekuasaan Soekarno menandai bangkitnya sebuah era baru yang dipanggil oleh pendukungnya sebagai Orde Baru. Kelahirannya ditandai oleh pemberian mandat yang dikenal dengan surat Perintah Sebelas Maret 1966 atau Supersemar oleh Soekarno kepada Soeharto untuk mengatasi situasi yang diakibatkan oleh timbulnya pemberontakan kaum komunis tersebut. Soeharto, dengan ABRI (sekarang TNI) dan bantuan umat Islam akhirnya berhasil menguasai keadaan.
Pada awal, Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto memberikan sebersi harapan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Bangsa Indonesia ingin menapaki kembali kehidupan bernegara yang normal, lebih etis, dan demokratis. Apa lagi Orba sendiri menggunakan slogan “ ingin melaksananalkan Pancasila secara murni dan konsikuen .” Buat umat Islam, khususnya para tokoh bekas Masyumi, kehadiran Orba diharapkan menjadi “ lapu hijau “ bagi tampilnya kembali kekuatan kekuatan Islam Politik. Hal ini ditambah pula dengan kebijakan Orba yang membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dijobloskan Soekarno ke penjara. Maka, sejalan dengan perkembangan Orba, Umat Islam menyusun rencana bagi tampilnya Islam politik untuk memperjuangkan aspirasi syariat Islam masuk ke dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Namun akhirnya mereka menelan kekecewaan. Pemerintahan Orba yang didukung sepenuhnya oleh militer tidak bersedia merehabilitasi masyumi dan tidak mengizinkan para eksponenya untuk terlibat dalam politik praktis. Kalangan militer menganaggap bahwa beberapa tokoh masyumi memiliki kesalahan yang tidak termaafkan karena terlibat dalam pemeberontahan PRRI.
Naman begitu, pada masa Orba, Soeharto tidak selamanya bersikap “ tidak bersahabat “ terhadap Islam. Sepanjang 32 tahun kekuasaanya, hubungan Islam dan negara pada masa Orba dapat dibedakan menjadi dua preode, yaitu preode antogonistis yang berlangsung hingga 1985 dan preode akomodatif hingga kejatuhan Orba, 1998.
Pada masa pertama umat Islam mengalami perlakuan yang tidak bersahabat dari Orba. Hubungan Orba dan Islam pada preode awal ini sering ditandai konfrontasi yang jelas-jelas merugikan Islam. Pada fase yang berlangsung antara 1966-1981 ini Orba bertindak represif terhadap Umat Islam. Beberapa kebijakan Orba terlihat tidak sejalan dengan aspirasi umat Islam. Diantaranya penolakan rehabilitasi Masyumi, penolakan berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang diprakarsai Bung Hatta, rumusan rancangan undang-undang tentang perkahwinan, upaya memasukkan aliran kepercayaan ke dalam agama, menggantikan pelajaran agama dengan pancasila ke dalam kurikulum pendidikan nasional, larangan berjilbab bagi siswi muslimah di sekolah umum dan legalisasi perjudian oleh negara, seperti dalam TSSB, KSOB, dan Porkas. Menghadapi berbagai kebijakan ini, umat Islam menjadi oposisi dan selalu berada pada pihak yang dikalahkan.
Dalam preode ini Orba juga melakukan uji coba dengan kebijakan penerapan asas tunggal Pancasila bagi partai-partai politik dan ormas di Indonesia. Terhadap kebijakan ini, di kalangan Islam terdapat dua sikap berbeda. Partai PPP dan ormas –ormas Islam lainya seperti HMI, Muhammadiah dan NU menerimanya, sedangkan individu-individu dan ormas lain yang kritis seperti Deliar Neor dan Pelajar Islam Indonesia (PII) menolaknya karena dianggap berbau secular. Terhadap mereka yang menolak, Orba bersikap represif. Orba membubarkan ormas-ormas Islam yang menolaknya dan menekan tokoh-tokoh vocal yang menentang kebijakan tersebut. Puncak dari kasus ini adalah meletusnya peristiwa Tanjung Priok, September 1984 yang memakan korban artisan umat Islam tewas di tangan aprat keamanan.
Dalam priode antagonistis yang berakhir hingga 1985 ini, terdapat dua babakan sikap umat Islam terhadap kebijakan Orba. Pada masa awal hingga 1981 kelihatanya umat Islam mempunyai suara yang bulat menentang berbagai kebijakan Orba yang dipandang bertentangan dengan Islam. Sebagian tetap mempertahankan sikap Oposisi terhadap Orba dan sebagain lagi mulai bersikap lunak dan akomodatif terhadap Orba. Sikap ini agaknya dikarenakan oleh mulai banyaknya kaum cendikiawan dan kelas menengah Islam yang masuk ke jajaran pemerintahan. Sebaliknya, Orba sendiri pada preode kedua tersebut kelihatanya memandang Islam sebagai kekuatan riil masyarakat Indonesia yang tidak bias dinafikan, sehingga lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan yang berhubung dengan kepentingan umat Islam.
Barulah pada fase kedua pemerintahan Orba menunjukkan sikap akomodatif terhadap Islam. Bahtiar Effendy membuktikan empat jenis akomodasi Orba terhadap kepentingan umat Islam, yaitu akomodasi struktural, legislatif, infrastruktral, dan cultural.
Dalam akomodasi struktural, banyak tokoh cendikiawan muslim yang duduk di berbagai lembaga negara. Hal ini tidak terlepas dari usaha Nurcholish Madjid yang mencuba mencairkan hubungan islam dan negara dengan gagasanya “ Islam Yes Partai Islam No “. Sejak tahun 1970-an , Cak Nur memang sudah gigih memperjuangkan pendekatan Islam yang lebih holistik, tidak tersekat oleh pemikiran sempit. Memang pada mulanya gagasan ini mendapat resistensi dari sebagian kalangan umat Islam. Bagi Cak Nur, partai Islam bukanlah satu-satu alat untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Ide tentang partai Islam tidak lagi menarik dan kehilangan dinamika. Menurut Cak Nur,
“ jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasrkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran –pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah llagi , partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya.”
Ide ini melahirkan respons negatif dari sebagin kalangan muslim yang masih mengimpikan pendekatan Islam politik dalam perjuangan mereka.
Namun begitu, pada tahun –tahun menguatnya kekuasaan politik Orba Soeharto era1970-1980-an, banyak tokoh-tokoh islam yang muncul ke permukaan dan bergerak did lam berbagai lapangan tanpa membawa atribut-atribut Islam, mereka adalah para terpelajar yang berbasis pada Organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Setelah menamatkan pendididkan dan pulang ke Tanah Air, mereka berkiprah dalam berbagai lapangan menyumbangkan tenaga dan ilmu yang mereka peroleh.
Hasil ini mencapai booming-nya pada era 1900-an, ketika terjadi hubungan yang sangat mesra antara Soeharto dan Islam. Banyak tokoh-tokoh muslim masuk ke berbagai sector kehidupan public dan memegang jabatan-jabatan strategis. Tokoh-tokoh muslim seperti Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Bustanul Arifin, Saleh Afiff, Azwar Anas, Hasjrul Harahap, Arifin M, Siregar, Syamsuddin (sic: Nasruddin) Sumintapura, Sa’adillah Mursyid, Syafruddin ( sic: Syarifuddin) Baharsyah, Tarmizi Taher, dan mar’ie Muhammad adalah tokoh-tokoh HMI yang masuk ke dalam mesin birokrasi Orde Baru.
Tokoh fenomenal lain yang tidak kalah dicatat adalah Munawir Sjadzali. Ia menjabat Menteri Agama RI dua priode pada cabinet Pembangunan IV dan V ( 1983-1993). Sebagai seorang ahli politik diplomat karier, ia memainkan peranan penting dalam pencairan hubungan islam dan Orde baru. Munawir juga tidak sepakat dengan ide integralisasi agama dan politik. Menurutnya , umat islam tidak boleh memusuhi Orde Baru. Dan dalam beberapa kesempatan seminar di kelas Program Pascasarjana(S.3) IAIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 1996. Ia selalu menyatakan bhwa umat islam jangan hanya menjadi penonton yang bisanya hnay menyoraki orang bermain bola. Umat Islam harus tampil menjadi pemain dan menggolkan bola, meskipun lapangan masih becek dan berlumpur. Jangan ditunggu lapangan harus bersih dahulu, baru bermain bola.
Dalam ilustrasinya ini, Munawir ingin mengatakan bahwa bagaimanapun kondisi Orde Baru , umat Islam perlu berperan di dalamnya dan jangan memusuhinya. Dengan masuk ke dalam struktur kekuasaan , umat Islam akan lebih mudah menyalurkan dan merialisasikan gagasan dan aspirasi mereka. Memang, ketika Munawir menjadi Mneteri Agama , banyak kebijakan Orba yang berpihak kepada umat Islam. Pada masa Munawir Sjadzali –lah banyak berhasil disahkan, sebagaimana akan dilihat di bawah ini.
Selain di kabinet, dua fenomena menarik lainya pada awal 1990-an adalah banyaknya aktivis muslim yang masuk ke Gedung Parlemen yang menyebabkan munculnya penilain masyarakat tentang “ islamisasi” ( atau penghijaun ) parlemen dan dibentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) , 1991, yang dipimpin oleh B.J Habibie, orang kepercayaan Soeharto yang sejak 1970-an dipercaya mengurus riset dan teknologi Indonesia .
Praktis sejak 1990-an tersebut Islam dapat lebih berperan tidak hanya sebagai penonton dalam setiap proses berbangsa dan bernegara , tetapi juga ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Hal ini tentu sedikit banyaknya merupakan hasil dari gagasan Cak Nur yang berusaha mencairkan hubungan Islam dan Politik yang ketika itu diwarnai ketidak harmonisan.
Dalam akomodasi legislatif, setidaknya, ada enam hal yang penting yang berkaitan dengan akomodasi Orde Baru terhadap kepentingan umat Islam yaitu: (1) disahkanya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Pendidikan nasional yang mewajibkan penyelengaraan sekolah memberikan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut anak didik (2) keluarnya Undang-Undang No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama ( PA) yang member landasan hukum bagi menguatkan posisi PA yang sejajar dengan tiga peradilan lainnya (3) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah perkahwinan , Warisan, dan Wakaf bagi umat Islam. ( 4) diubahnya kebajikan tentang jilbab, yang semua dilarang dipakai oleh siswi sekolah milik Departemen Pendididkan dan kebudayaan , akhirnya dibolehkan, 1991;(5) dikeluarkan Surat Keputusan Bersama ( SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang pembentukan Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) ; , 1991 dan (6) dihapuskan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) 1933.
Dalam akomodasi infrastruktural, pemerintah Orde Baru menyediakan anggaran belanja negara untuk membiayai projek-projek keagamaan. Pada Repalita pertama ( 1969-1974) pemerintah menganggarkan dana Rp 475 juta untuk pembangunan masjid-masjid. Jumlah ini meningkat pesat pada Repelita keempat dengan alokasi dana Rp 29 miliar . pada tahun 1982, Presiden Soeharto mendirikan yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila ( YAMP) yang banyak membangun mesjid di berbagai daerah di Indonesia, dan pada 1991 mengizinkan berdirinya Bank Muamalat.
Sementara dalam akomodasi kultural Presiden Soeharto juga ikut dalam Takbir Akbar Lebaran di Taman Monas dan membuka kegiatan Festival Istiqlal yang berlangsung dua kali, yakni 1991 dan 1994.
Tidak berlebihan kalau masa ini sering diungkapkan pengamat sebagai masa bulan madu antara umat Islam dan Orba. Meskipun demikian, suara-suara yang menyangsikan kesungguhan dan ketulusan sikap akomodatif Orba terhadap aspirasi umat Islam tetap ada. Sebagian pengamat menyatakan bahwa Soeharto berkepentingan dengan umat Islam untuk mendukung kekuasaanya. Deliar Noer, misalnya , dalam wawancaranya dengan Bahtiar Effendy, menyatakan bahwa tidak ada yang berubah dari watak Orba. Upaya –upaya akomodatif yang dilakukan Orba tidak mencerminkan perubahan yang sigbifikan dari kebijakan –kebijakan awal Orba terhadap umat Islam.sepanjang kekuasaanya, Orba poada hakikatnya tetap berwatak tidak inklusif dan terobsesi dengan program-program depolitisasi sebagai alat yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan.
Dari perkembangan Orba selama 32 tahun memang kita melihat gagasan dan perjuangan penerapan politik Islam dalam lembaga –lembaga politik formal tidak dapat dilakukan secarta leluasa, Orde baru merasa khawatir dengan keberadaan Islam Politik. Karena itu, dalam perkembanganya umat islam pun akhirnya mengubah strategi perjuangan dengan menitik beratkan perhatian pada “ Islam cultural.” Dalam hal ini , kalangan cendikiawan Islam berusaha menghilangkan stigma radikalisme politik Islam yang dicitrakan selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.
Strategi ini berhasil dengan mulai terjalinya saling pengertian antara Islam dan Orba. Pemerintahan Soeharto pun dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, meskipun tidak member runag yang lebih luas untuk politik . namun demikian , kita juga tidak bias menafikan peran politik PPP yang, meskipun terkooptasi oleh pemerintah dan melepaskan Islam sebagai ideologinya. Tetap memperjuangkan kepentingan Islam dlam lembaga legislatif.
Dari urain diatas terlihat bahwa dinamika politik ilsam Indonesia dalam penerapan ajaran islam mengalami pasang surut . Selama tiga preode perjalanan bangsa Indonesia sejak masa demokrasi liberal , demokrasi terpimpin, dan Orde Baru, umat Islam merasa belum memperoleh hasil yang optimal dari perjuangannya. Capain yang diperoleh pada masa akomodatif Orde Baru sangat bersifat artifisial dan masih sangat rawan terhadap berbagai guncangan-guncangan. Ilsam membuntuhkan pilar-pilar yang kuat untuk bias menopang keberhasilan yang dicapai tersebut. Islam tidak bias terus menerus menopang diri pada sikap “ baik hati” Orba. Apa lagi kekuasaan Orba sendirisejak pertengahan 1990-an mulai goyah. Karenanya , ketika Orba akhirnya jatuh pada 1998, Islam dalam segi-segi tertentu, juga merasakan dampaknya. Ini terlihat antara lain dari merosotnya peran dan keberadaan ICMI serta Koran Republika, yang dianggap sebagai corong bagi kepentingan umat Islam.
Oleh : Ahmad Syahin
9/6/ 2011, Melor, Kelantan.
No comments:
Post a Comment