Dalam sebuah wawancara Ezzat Ibrahim dengan John L. Esposito, seorang sarjana Amerika terkemuka dibidang penelitian Islam, dan Esposito meneliti akibat revolusi di Dunia Arab dan bangkitnya kaum Islamis di Mesir dan Tunisia. Dibawah ini bagian wawancara dengannya:
Ezzat Ibarahim : Apa yang sedang Anda perhatikan dari hasil pemilihan parlemen Mesir?
John L. Esposito : Dalam beberapa hal, saya pikir, seperti yang diperkirakan banyak kalangan, Ikhwanul Muslimin tidak terlalu besar mendapat dukungan politik dari pemilih, dan ini mempunyai berbagai alasan. Anda tidak memiliki sistem multi-partai yang kuat, dan di Mesir sistem multi partai merupakan pertama dalam sejarah politik di negeri ini.
Saya menulis sebelumnya tentang Tunisia dan Mesir. Para Islamis diharapkan mendapatkan sekitar 40 persen suara. Namun, yang sangat mengejutkan banyak orang munculnya Salafi, yang sebelumnya relatif belum dikenal dalam panggung politik. Tetapi sekarang mendapat dukungan politik yang sangat besar dalam pemilihan parlemen, ini sesuatu yang sangat mengejutkan.
Saya berpikir dengan munculnya Salafi, kami telah melihat mereka berhasil secara politik. Di mana di Mesir kaum Islamis itu selalu dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin. Sekarang Salafi telah memasuki politik dan Partai Nour telah mendapatkan dukungan dalam pemilihan, dan ini menjadi saingan baru bagi Ikhwan.
Saya berpikir akan lebih banyak pertanyaan kepada Partai Nour dibandingkan Ikhwan. Karena kedua gerakan ini memiliki track record yang lebih lama. Bagaimana platform mereka? Terutama berkaitan dengan sejumlah isu. Misalnya, pandangan kaum Salafi yang menyerukan penerapan Hukum Syariah.
Partai Nour telah mencoba menyajikan platform yang lebih akomodatif. Beberapa pengamat mengatakan bahwa ada kontradiksi antara posisi baru yang diambil Partai Nour, yang menampung aspirasi berbagai kepentingan yang berbeda dengan tujuan Partai Nour. Seperti kalangan Koptik. Saya pikir peran Salafi di Mesir akan berbeda dengan Tunisia. Di mana Anda tidak memiliki fenomena ini sama sekali.
Ezzat Ibrahim : Gerakan Salafi adalah fenomena baru di panggung politik. Apakah ini menunjukkan bentuk keberhasilan pemikiran Wahabi yang sudah berakar dikalangan rakyat Mesir?
John L. Esposito : Berbicara tentang Salafi, merupakan ungkapan kata yang sulit, karena istilah salafi berarti banyak hal yang berbeda. Arti yang paling dasar selalu dikaitkan dengan para pengikut awal atau generasi sahabat Nabi. Kemudian, pada abad akhir ke-19 sampai abad ke-20, Anda melihat tokoh pembaharu besar dalam Islam Muhammad Abduh, yang juga disebut sebagai bagian tokoh gerakan Salafi.
Baru-baru ini, istilah Salafi cenderung diterapkan kepada orang-orang yang saya sebut ultra-konservatif, dan itu akan digunakan pada pengikut Wahabi. Saya berpikir bahwa ada sesuatu yang sama dengan Salafi Saudi dan Salafi di Teluk. Karena gerakan Salafi meluas di banyak dunia Muslim, termasuk negara-negara Teluk.
Gerakan Wahabi adalah berkaitan erat dengan fenomena di Saudi yang mendukung Salafi. Di manapun menemukan mereka. Namun, Salafi di negara Arab Saudi mencerminkan realitas yang berbeda dari negara-negara mereka. Hanya saja kebanyakan di Saudi mereka menjadi pendukung kerajaan dan raja.
Namun, ada dua perbedaan penting yang sering saya buat. Beberapa Salafi cenderung menolak berpolitik. Mereka sangat konservatif, sangat banyak pengikutnya menjadi Islam ortodoks (ushuliyyun). Mereka menolak berpolitik. Seperti Salafi di Mesir ketika di bawah Mubarak, karena penindasan politikk, mereka menolak ikut dalam berpolitik.
Lalu ada Salafi lain yang bersifat politis, dan ada jenis ketiga yang saya sebut Salafi militan, dan saya pikir semua kelompok-kelompok ini harus dibedakan satu sama lain. Para Salafi militan orang kadang-kadang menyebut sebagai Salafi jihadis, mereka terlibat dalam kekerasan (gerakan jihad). Kelompok ini, mereka menolak ikut dalam politik, dan memandang partai politik sebagai bid'ah.
Para Salafi politik percaya bahwa mereka memiliki visi yang benar yang bersumber dari ajaran Islam. Versi mereka agama adalah politik salah satu bagian dari ajaran agama, dan menjadi tempat mereka berlatih mengelola masyarakat dan negara. Mereka berusaha merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Selain itu, mereka bekerja untuk melaksanakan visi ini dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam pengalaman saya, sesungguhnya mereka masih sedang merumuskan, pandangan-pandagan mereka terkait dengan aplikasi ajaran Islam, dan nampaknya masih akan terus berubah. Banyak kalangan non-Muslim dalam beberapa tahun terakhir, yang banyak dibicarakan dan didiskusikan adalah istilah Wahabi, yang dipandang sebagai semacam ancaman. Karena terkait dengan meluas pengaruh gerakan Wahabi, yang selalu dianggap sebagai ancaman dari dunia Arab, Muslim dan Usamah Bin Laden.
Lalu Salafi datang. Salafi sangat berbeda dengan pemahaman yang kita memiliki, pemahaman masalah orang-orang yang mereka wakili.
Saya mempelajari sejumlah agama. Saya awalnya belajar agama Kristen, dan saya telah melakukan penilitian tentang Islam selama 40 tahun, tapi saya juga mempelajari agama-agama lain. Apa yang mengejutkan orang di Mesir dan di luar Mesir adalah Salafi yang sekarang menjadi pemain politik dan berhasil dengan baik dalam pemilu. Di beberapa daerah mereka tidak begitu berbeda dari ikhwan, tetapi di daerah lain mereka sangat berbeda dari mereka.
Ezzat Ibrahim : Bagaimana mengakomodasi tradisi agama untuk demokrasi modern ...
John L. Esposito : Di Barat banyak kebijakan elit, dan di dunia Arab dan Muslim, mengambil gagasan bahwa demokrasi adalah model, dan semua model pembangunan berasal dari Barat.
Ketika Mesir terjajah kemudian memperoleh kemerdekaan, pemikiran seperti mendiktekan bahwa model demokrais adalah sekuler dan institusi Barat, di antaranya lembaga-lembaga politik, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lainnya. Apa yang kita lihat saat ini masih seperti itu. Pertama, jika Anda melihat pengalaman Barat terjadi perbedaan besar dalam cara, bagaimana demokrasi dikembangkan di Amerika dan di Eropa.
Di Amerika, terjadi pemisahan antara gereja dan negara. Kami memiliki campuran agama dan politik. Tetapi secara kelembagaan ada pemisahan antara gereja dan negara. Di Eropa, di sisi lain, di Jerman, Inggris, dan Skandinavia, Anda terjadi campur tangan antara institusi agama dan negara.
Ini berarti kepala negara harus dibawah pengaruhagama, dan berarti bahwa negara mendukung institusi agama. Gereja semuanya menurut definisi adalah bukan apa yang tampak seperti demokrasi Amerika.
Ada banyak interpretasi dan akomodasi dari apa yang kita sebut demokrasi Barat, tergantung pada negara Barat bersangkutan. Sesungguhnya yang terjadi di negara-negara hari ini, dan kita melihat modelnya telah berubah. Jika Anda melihat dunia Islam saat ini, Anda melihat berbagai bentuk demokrasi. Misalnya, jika Anda melihat Senegal dan Malaysia, di satu sisi, dan Turki di sisi lain.
Beberapa dekade, Amerika Serikat mengatakan bahwa yang perlu dipromosikan adalah demokrasi model Turki. Tapi apa yang sebenarnya dimaksudkan di sini adalah model sekularisme Turki, yang anti-agama.
Model pengalaman Turki. Di mana sebuah negara Islam dan pemerintah mengatakan bahwa kita menganut sistem sekularisme. Terjadi pemisahan agama dan negara. Berarti ada ruang bagi orang yang menolak kepercayaan agama.
Di Turki. Anda memiliki sebuah negara Muslim dengan bentuk sekularisme. Di mana ada rasa hormat dan sensitivitas untuk agama, dan sekarang tidak ada upaya untuk meminggirkan agama.
Sebelumnya di bawah sistem sekuler di Turki. Jika Anda dilihat sebagai orang yang taat beragama, atau pergi ke sekolah agama, Anda tidak bisa mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di universitas atau di birokrasi, militer atau negara. Semua ini sekarang berubah. (mhi) eramuslim
No comments:
Post a Comment