AKHBAR Kompas, Indonesia pada 16 Mei melaporkan bahawa bekas presiden, Allahyarham Suharto, lebih popular daripada President Susilo Bambang Yudhoyono.
Kajian ke atas 1,200 responden oleh The Indo Barometer mendapati 40 peratus berpendapat keadaan lebih baik di bawah Suharto berbanding 23% yang menyebelahi Yudhoyono.
Sokongan lebih kuat kepada Suharto berlaku walaupun pemerintahan beliau dituduh korup dan menindas.
Lebih sepertiga responden memilih beliau sebagai presiden kesukaan mereka manakala 40% menganggapnya “paling berjaya menjalankan tugas sebagai seorang presiden Indonesia.”
Ini tidak menghairankan saya. Malah saya merasakan sendiri hal ini mulai awal tahun 1980-an apabila saya kerap dihantar untuk membuat liputan berita di republik raksasa itu.
Dalam masa tidak sampai 15 tahun mulai 1967, apabila beliau menggantikan Sukarno berikutan percubaan rampasan kuasa oleh Parti Komunis Indonesia (PKI), Indonesia bertukar daripada negara yang ramai rakyatnya kebuluran kepada negara yang menghasilkan cukup beras untuk kegunaan sendiri.
Kejayaan itu sahaja menyebabkan Suharto dihormati dan disayangi. Beliau juga membawa kemajuan lain sehinggalah reputasi beliau mula tercemar apabila isteri, anak-anak dan menantu-menantu beliau dibabitkan dengan rasuah dan monopoli ekonomi negara. Mereka diperalatkan oleh segelintir pembolot ekonomi yang umumnya berketurunan Cina.
Pada suatu ketika, isteri Suharto, Ibu Tien diberi gelaran Ibu Tien (10) Persen. Harapan Suharto bertahan habis berkecai apabila berlaku Krisis Kewangan Asia 1997/98. Indonesia muflis dan terpaksa mengemis kepada Tabung Matawang Antarabangsa (IMF).
Kejatuhan Suharto dan ramai lagi pemerintah autokrat yang berjaya dan berjasa wajib dijadikan teladan, khasnya oleh pemimpin yang dipilih secara demokratik, agar tidak mengabaikan kebajikan pengundi dan tidak sekali-kali membiarkan pemerintahan mereka dikotori oleh watak-watak ala “Ibu Tien Persen”.[1]
Survei Membuktikan, Orba Lebih Baik!
JAKARTA, KOMPAS.com — Survei nasional Indo Barometer bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono" menunjukkan, 40,9 persen responden mempersepsikan bahwa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi. Hanya setengahnya, atau 22,8 persen responden yang mengatakan bahwa Orde Reformasi lebih baik dibandingkan dengan periode lainnya.
Hasil survei ini dipaparkan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari kepada wartawan di Jakarta, Minggu (15/5/2011). Ia mengatakan, hasil ini merupakan pukulan bagi semua pihak yang menganggap reformasi sebagai momentum perubahan. "Ini ironi yang menunjukkan bagaimana rezim (Orba) yang ingin dikoreksi justru dipandang lebih baik," katanya.
Hasil survei memperlihatkan, publik mempersepsikan Orba lebih baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Orde Reformasi hanya unggul di bidang penegakan hukum. Di bidang politik, 33,3 persen responden mempersepsikan Orba lebih baik. Sementara itu, hanya 29,6 persen responden yang mempersepsikan Orde Reformasi lebih baik. Di bidang ekonomi, 56,3 persen responden mempersepsikan Orba lebih baik. Sementara itu, hanya 20,3 persen responden yang mempersepsikan bahwa Orde Reformasi lebih baik.
Di bidang keamanan, sebanyak 53,7 persen responden mengatakan, Orba lebih baik. Hanya 20,6 persen responden yang menganggap Orde Reformasi lebih baik. Sementara itu, di bidang hukum, 27,6 persen menganggap Orba lebih baik. Sementara 34,3 persen responden menganggap Orde Reformasi lebih baik.
Hasil survei yang melibatkan 1.200 responden secara nasional dan dilakukan tanggal 25 April-4 Mei 2011 ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih banyak yang mempersepsikan bahwa Orba lebih baik dibandingkan dengan periode kepemimpinan lainnya, yaitu sebanyak 47,7 persen. Angka ini lebih tinggi 12 persen jika dibandingkan dengan persentase masyarakat pedesaan yang mempersepsikan Orba lebih baik, yaitu 35,7 persen.
Dari tingkat pendidikan, seluruh jenjang pendidikan menyatakan bahwa Orba lebih baik. Namun, secara persentase, semakin tinggi tingkat pendidikan responden, tingkat kepuasan terhadap Orba semakin rendah.
Cita-cita belum tercapai
Menanggapi survei ini, aktivis reformasi Ray Rangkuti mengatakan, ada banyak cita-cita reformasi yang belum tercapai. "Ini kritik bagi Orde Reformasi yang belum mampu memenuhi cita-cita di bidang penegakan hukum dan HAM, pemberantasan KKN, dan lainnya. Jika tidak ada perubahan, masa lalu yang kelam tetap menjadi impian setiap orang," katanya.
Penanggap lainnya, ekonom Faizal Basri, menyoroti tingginya angka masyarakat pedesaan yang mempersepsikan Orba lebih baik dibandingkan dengan Orde Reformasi. Ada banyak penyebab mengapa hal itu terjadi. "Penurunan angka kemiskinan lebih lambat di desa dibandingkan dengan di kota. Sejak era reformasi, sektor pertanian semakin amburadul karena harga pangan tak lagi ditopang. Bulog semakin tak berperan, sementara mekanisme pasar semakin berjalan. Produk impor semakin membanjiri Tanah Air sehingga produk lokal tak dapat bersaing," katanya.
Tak hanya itu, sejak era reformasi, menurut dia, tak ada penambahan bendungan. Banyak saluran irigasi yang rusak, tetapi tak diperbaiki. Era reformasi, kata Faisal, lebih banyak fokus pada pembangunan jalan tol dan bandara.
"Presiden juga jarang turun ke desa-desa. Presiden hanya rapat dari istana ke istana. Atau paling tidak (rapat) di bandara. Sekalinya turun ke desa, salah. Ada sebuah foto di Setneg di mana Presiden menggulung celana panjangnya hingga ke lutut ketika hendak panen bersama. Beliau tidak tahu kalau padi itu tanaman yang membutuhkan air. Presiden juga menanam padi segepok-segepok. Seharunya menanam padi itu harus satu per satu. Padahal, beliau doktor dari IPB," kata Faisal. [2]
Soeharto, Presiden yang Paling Disukai Publik
JAKARTA, KOMPAS.com — Sebagian orang boleh tidak suka dengan almarhum mantan Presiden Soeharto. Namun, survei membuktikan, Soeharto adalah presiden yang paling disukai masyarakat Indonesia. Soeharto juga presiden yang dianggap paling berhasil.
Demikian survei yang dilakukan Indo Barometer, sebuah lembaga survei nasional. Direktur Indobarometer, M Qodari, merilis hasil survei tersebut di Jakarta, Minggu (15/5/2011). Survei ini merupakan salah satu bagian dari hasil survei tingkat nasional bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono", yang dilaksanakan pada 25 April-4 Mei 2011.
Dari survei yang melibatkan 1.200 orang, sebanyak 36,5 persen responden memilih almarhum mantan Presiden Soeharto sebagai presiden yang paling disukai. Selanjutnya, 20,9 persen memilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; 9,8 persen memilih almarhum mantan Presiden Soekarno; 9,2 persen memilih mantan Presiden Megawati Soekarnoputri; 4,4 persen memilih BJ Habibie; 4,3 persen memilih almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
Selain itu, Indo Barometer juga menggali persepsi publik mengenai presiden yang paling berhasil. Lagi-lagi, almarhum mantan Presiden Soeharto dipersepsikan sebagai presiden paling berhasil. Sebanyak 40,5 persen responden mempersepsikan Soeharto sebagai pemimpin yang paling berhasil.
Selanjutnya, 21,9 persen memilih Presiden Yudhoyono; 8,9 persen memilih almarhum mantan Presiden Soekarno; 6,5 persen memilih mantan Presiden Megawati Soekarnoputri; 2,0 persen memilih mantan Presiden BJ Habibie; dan 1,8 persen memilih almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
Qodari mengatakan, survei nasional ini menggunakan metode multistage random sampling untuk menghasilkan responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner. Tingkat kepercayaan survei ini mencapai 95 persen dan margin of error sebesar +/- 3,0 persen[3].
No comments:
Post a Comment