Monday, January 2, 2012

Mengapa Kelompok Salafi Mendirikan Parti?



Saat mengunjungi markas Partai Salafi Nour, di Maadi, langsung mellihat gambaran yang bertentangan dengan stereotip sebagai Gerakan Islam ultrakonservatif. Di ruangan resepsionis, dua pria muda berjanggut mengenakan pakaian yang modern tidak menunjukkan permusuhan terhadap wartawan perempuan yang tidak menggunakan jilbab atau niqab. Tidak seperti khas Salafi.

Di luar ruangan resepsionis, Ketua Partai al-Nour, Emad Abdel Ghafour, duduk di kantornya, sedang menunggu reporter lainnya. Partai al-Nour di luar dugaan para pengamat internasional, dan menimbulkan yang sangat luar biasa, karena Partai al -Nour, mendapat dukungan suara yang cukup signifikan dari rakyat Mesir.

Para pengambil kebijakan Barat, sedangkan mengarahkan perhatian mereka terhadap situasi politik di Mesir, di mana partai-partai Islam mendaptkan dukungan suara mayoritas. Ke mana arah kebijakan partai-partai Islam di Mesir mendatang? Barat sedang mengkaji dengan sangat seksama. Kemungkinan dan implikasi-impiliasinya.

Lunak, 51 tahun, ahli bedah, yang meninggalkan pekerjaaannya, dan bergiat di Partai al-Nour, merasa sangat lelah membantah tuduhan bahwa pihaknya berusaha mengubah undang-undang negara Mesir dengan syariah Islam, dan tuduhan Barat bahwa syariah Islam akan melanggar kebebasan pribadi dan hak-hak minoritas.

"Saya tidak tahu bagaimana cara meyakinkan mereka lagi," keluh Abdel Ghafour, yang berjanggut coklat yang menggunakan jas dan kemeja hijau. "Kami (Salafi) menderita banyak diskriminasi, dan kebebasan kami sangat dibatasi sebelum revolusi. Kami berpikir, siapa pun yang menderita diskriminasi dan pembatasan kebebasan, tidak bisa melakukan itu kepada orang lain, "kata Abdel Ghafour media Independen Mesir.

Kemenangan Partai Nour dalam putaran pertama pemilihan parlemen membuat bangsa Mesir sangat terkejut. Dalam pemungutan suara minggu lalu, Partai al-Nour mendapat hampir 25 persen suara di gubernuran. Kemudian, di urutan pertama, Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, yang memenangkan hampir 40 persen suara.

Munculnya Partai al-Nour yang merupakan syap politik dari Salafi menimblkan kekhawatiran bahwa Mesir menjadi negara agama, model Iran atau Arab Saudi. Abdel Ghafour menolak kekhawatiran ini, mengatakan, pihaknya bersedia menerima parameter dijabarkan dalam konstitusi lama yang mengatur peran agama dalam politik.

"Jika Pasal 2 dipertahankan seperti tanpa penambahan atau perubahan, kami akan menerimanya sebagai cara untuk mencapai kesepakatan (dengan kekuatan politik lain)," kata Abdel Ghafour. Ghafour mengacu pada ketentuan lama yang menyatakan, bahwa Islam adalah agama resmi Mesir, Arab bahasa resmi, dan bahwa prinsip-prinsip Syariah Islam adalah sumber utama undang-undang.

Ayat ini sudah ada dalam konstitusi sejak tahun 1980, tapi tidak pernah diterjemahkan ke dalam Islamisasi undang-undang Mesir. Sistem hukum Mesir tetap terinspirasi oleh hukum Perancis dengan beberapa pengecualian, seperti hukum warisan, yang didasarkan pada syariah Islam.

Setelah pengunduran diri Hosni Mubarak, klausul ini menjadi pusat perhatian seluruh kekuatan politik Islam, yang ingin mengemplementasikan ke dalam seluruh ranah kehidupan politik di Mesir. Suara kalangan Salafi, terutama sebagian Salafi jihadi, menuntut modifikasi dari kata-kata klausul itu, yang ingin memastikan implementasi secara tegas pelaksanaan hukum Islam, yang ditolak kalangan liberal dan sekuler.

Abdel Ghafour tampaknya lebih dekat dengan kaum liberal dari pada Islamiyyun (konservatif), model Salafi jihadi tentang masalah ini. "Mari kita menerima artikel lama seperti yang telah ada, dan beralih dari masalah ini," katanya. Sebaliknya, ia mengklaim bahwa agenda legislatif Partai al-Nour akan fokus pada pemulihan ketertiban umum, menciptakan lembaga-lembaga demokratis, membentuk kabinet yang kuat dan populer dan mendorong pembangunan ekonomi.

Dalam pernyataan yang menimbulkan sedikit pertanyaan, wacana kalangan da'i Salafi, yang dalam khotbahnya, seperti Abdel Ghafour menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat memaksakan aturan berpakaian pada perempuan. "Partai al-Nour tidak akan mendukung undang-undang yang akan memaksa perempuan memakai jilbab di tempat umum," janji Abdel Ghafour, kepada wartawan perempuan yang mewawancarainya.

Banyak pengamat percaya bahwa wanita akan membayar harga terbesar jika negara Islam di Mesir lahir, dan partai-partai Islam menegakkannya, sesudah pemilu ini. Selain pengenaan aturan dalam berpakaian, kaum feminis baru-baru ini menyuarakan kekhawatiran atas kemungkinan bahwa pemerintah Islam mungkin membalikkan hukum status pribadi yang mendukung perempuan, yaitu hukum khulu 'yang disahkan pada tahun 2000, yang memberikan perempuan hak bercerai.

"Menghapus hukum khulu tidak, bahkan tidak menjadi agenda partai", kata Abdel Ghafour.

Partai al-Nour berasal dari kelompok Salafi yang berbasis di Aleksandria, yang menjadi salah satu pusat gerakan Salafi yang paling populer di Mesir. Untuk beberapa dekade, para da'i Salafi, yang mengadopsi interpretasi literal Islam yang sebagian besar dipengaruhi oleh Ulama Abdullah bin Abdul Wahhab, sebenarnya merka tetap jauh dari politik.

Bahkan, beberapa pemimpin Salafi menjauh dari aktivitas politik Partai al-Nour, mereka mencela partisipasi politik kalangan Salafi, dan menuduh sebagai amal yang tidak Islami. Namun, mayoritas kalangan Salafi, termasuk Salafi Jihadi, membolehkan kalangan yang berijtihad, ikut pemilihan parlemen, dan mendirikan partai, dan itu semata-mata sebagai sarana menegakkan syariah Islam. Sikap mengalami perubahan dikalangan Salafi ini, dipengaruhi situasi perubahan politik di Mesir, pasca tergulingnya rezim Mubarak, Februari lalu.

Pada bulan Mei, Abdel Ghafour dan ribuan anggota Salafi mendirikan Partai al-Nour (Nour berarti "cahaya" dalam bahasa Arab). Kalangan Salafi Mesir, ingin memberikan cahaya Islam kepada bangsa Mesir, melalui gerakan politik mereka yang baru, Partai al-Nour.

Tentu, yang paling pokok, "Platform Partai al-Nour menyerukan pembentukan sebuah tatanan demokrasi yang tidak melanggar Syariah. Hal ini juga menekankan kebebasan berekspresi dan berserikat dan pergantian kekuasaan secara damai melalui saluran demokratis".

Sementara pemimpin Nour berusaha untuk menyuarakan pandangan politik mereka sebagai kekuatan politik yang moderat. Pesan mereka tetap dihantui oleh pernyataan yang dibuat oleh para da'i Salafi (jihadi) yang tidak secara formal berafiliasi dengan partai, melalui khotbah-khotban mereka.

Dalam beberapa bulan terakhir, di dunia maya ramai bagaikan gemuruhnya suara pesawat supersonik di mana video kontroversial yang menggambarkan Syekh terkenal Salafi menolak demokrasi, dan diyakini sebagai bentuk kemurtadan, dan menyatakan bahwa menampilkan wajah seorang wanita sebagai memalukan, dan sebagai bentuk seperti menunjukkan vaginanya, dan Syekh itu menyerukan menaklukkan Barat. Isi pernyataan Syekh Salafi itu telah menimbulkan gelombang kejutan kepada kalangan liberal dan feminis.

Abdel Ghafour tampaknya enggan mengakui bahwa para da'i Salafi dapat merugikan citra partainya. Dia hanya bertanggung jawab atas platform partai dan pernyataan yang dibuat oleh para pemimpin partai. Namun, fatwa Syekh Salafi dan para da'inya memgerikan kontribusi membentuk pandangan politik dan sosial dari konstituen partai.

Menurut Emad Shahin, seorang profesor ilmu politik Mesir di Universitas Notre Dame, pemimpin Partai al-Nour berpkiran "lebih maju" sebagai tokoh Salafi. "Wacana Salafi sangat beragam dan mencerminkan perbedaan besar antara faksi-faksi Salafi," kata Shahin. "Beberapa Salafi berusaha menyajikan orientasi atau sebuah ideologi yang dapat membantu mereka mengintegrasikan ke dalam proses politik," tambahnya, mengacu pada Abdel Ghafour.

Sementara itu, Shahin mengharapkan anggota parlemen dari Partai al-Nour mendorong undang-undang tertentu, seperti melarang minuman keras dan perjudian dan menutup pantai wisata dengan alasan bahwa mereka melanggar Syariah.

Namun demikian, Shahin tidak terlalu mengkawatirkan dampak politik dari Partai Salafi, karena mereka masih jauh dari memegang mayoritas parlemen. Dia juga mengesampingkan kemungkinan berpihak Ikhwanul Muslim dengan Salafi pada isu-isu di parlemen.

"Ikhwanul Muslimin akhirnya akan bekerjsama dengan kaum liberal, bukan dengan Salafi, karena mereka tahu, berkerjasama dengan Salaf bisa membuat mereka kehilangan suara," kata Shahin. "Ikhwanul Muslimin berusaha membuktikan bahwa mereka berubah menjadi gerakan mainstream yang akan mencakup kekuatan di Mesir", ujarnya.

Putaran pertama pemungutan suara menunjukkan bahwa parlemen baru akan di dominasi oleh mayoritas Islam, melebihi 60 persen. Dengan mengontrol parlemen, Islamis secara teoritis akan memiliki kekuatan menentukan isi dari konstitusi baru. Menurut "road map" sebagai tahapan politik yang didukung militer, parlemen baru harus memilih majelis konstituante yang beranggotakan 100 orang, yang akan merancang Konstitusi Mesir pasca-Mubarak. Tahap kedua pemilihan akan dimulai akhir pekan ini, dengan fase ketiga pada awal Januari.

Abdel Ghafour bersikeras bahwa anggota parlemen harus ditetapkan bebas dalam pilihan mereka. Dia menambahkan bahwa anggota parlemen adalah cukup "rasional" untuk memastikan bahwa majelis konstituante mewakili semua orang Mesir. Bukan ber dasarkan kepentingan militer (SCAF), yang sekarang ini masih ragu-ragu.

Sebagian kalangan Salafi berijtihad ingin memanfaatkan demokrasi, pemilu dan parlemen, mengemplementasikan Konstitusi Mesir, yang secara ekplisit Islam sebagai agama resmi negara, dan syariah Islam sebagai sumber hukum negara, Salafi ingin melaksanakannya dalam bentuk konkrit. (al-afgh/may)

sumber: KLIK

No comments:

Post a Comment