Friday, January 28, 2011

Tuduhan Keji Syi’ah Terhadap Ahlus Sunnah




Di antara tuduhan keji yang dilontarkan oleh Syiah kepada umat Islam ialah seperti yang diriwayatkan oleh Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar, jilid XXIV, hal. 311, bab. 67 dan oleh Al-Kulaini dalam Ar-Raudhah riwayat nomor 431, dari Imam Al-Baqir, bahwasanya ia berkata, “Demi Allah, wahai Abu Hamzah, sesungguhnya semua manusia itu anak-anak pelacur, kecuali golongan kita.”

Diriwayatkan oleh Al-Iyasyi dalam Tafsir Al-Iyasyi, jilid. II, hal. 234, Daar At-Tafsir – Qumm Iran, dari Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, bahwasanya ia berkata, “Setiap anak yang lahir pasti sedang didatangi iblis. Jika tahu ia dari golongan kita, si iblis terhalang darinya. Dan jika tahu ia bukan dari golongan kita, si iblis akan memasukkan jari telunjuknya ke anus anak itu sehingga tersumbat. Jika anak itu laki-laki, iblis akan menyerang wajah. Dan jika anak itu perempuan, iblis akan mengincar kemaluannya yang nanti akan menjadi seorang pelacur.”

Diriwayatkan oleh Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar, jilid XI, hal. 85, bab “Tentang Keutamaan Berziarah ke Kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Hari Arafah, Hari Raya Fithri dan Hari Raya Adha.” Dan juga diriwayatkan oleh Ash-Shaduq dalam Faqih Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid II, hal. 431, Tentang Pahala Ziarah ke Kubur Nabi dan Para Imam, Daar Al-Adhwa’ – Bairut, dari Abu Abdillah 'Alaihis salam, ia –perawi– berkata, “Sesungguhnya Allah lebih dahulu memandang para peziarah kubur Al-Husein pada sore Hari Arafah, sebelum Dia memandang orang-orang yang sedang wukuf di Arafah. Benarkah begitu?.” Ia menjawab, “Benar. Karena di antara orang-orang yang sedang wukuf di Arafah terdapat anak-anak zina. Sementara di antara para peziarah (kubur Husein) tersebut tidak terdapat anak-anak zina.”

Al-Allamah Abdullah Syibr dalam kitabnya Tasliyah Al-Fu’ad fi Bayan Al-Mauti wa Al-Ma’ad, hal. 162, Daar Al-A’lami – Bairut, menulis pasal yang ia beri nama, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti manusia akan dipanggil dengan menggunakan nama-nama ibu mereka, kecuali kaum Syiah.” Ia menuturkan beberapa riwayat, yang antara lain, “….Pada hari kiamat kelak manusia akan dipanggil dengan menggunakan nama-nama ibu mereka, kecuali golongan kami. Sesungguhnya mereka (Syiah) akan dipanggil dengan menggunakan nama-nama ayah mereka, karena kelahiran mereka yang sangat bagus.”

Diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam Al-Kafi VI, hal. 391, Daar Al-Adhwa’ – Bairut, dari Ali bin Asbath, dari Abul Hasan Ar-Ridha 'Alaihis salam, ia berkata, “Aku pernah mendengar ia menyebut-nyebut Mesir, lalu mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian makan dalam bejananya dan janganlah kalian membasuh kepala kalian dengan airnya, karena sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan sifat cemburu dan menimbulkan sifat tidak punya rasa cemburu.”



A. Tuduhan Keji Syiah Terhadap Aisyah Radhiyallahu 'anha

Orang-orang Syiah menganggap bahwa firman Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi dalam surat At-Tahrim: 10,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)." )Qs. At-Tahrim: 10).

Adalah menyinggung tentang Aisyah dan Hafshah Radhiyallahu 'anhuma.

Sebagian ulama Syiah menafsiri kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’ dalam firman Allah tadi, dengan melakukan perzinaan. Semoga Allah melindungi kita dari padanya.

Seorang tokoh ulama dan ahli tafsir Syiah, Al-Qummi dalam kitabnya Tafsir Al-Qummi ketika menafsiri ayat tadi mengatakan, “Demi Allah, yang dimaksud dengan kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’, tidak lain ialah berselingkuh atau tegasnya berbuat zina. Oleh karena itu, hukuman had harus dijatuhkan kepada si Fulanah atas kejahatan yang telah dilakukannya di jalan ( ). Dan si Fulan mencintainya, sehingga ketika si Fulanah hendak pergi ke …. Si Fulan berkata kepadanya, “Kamu tidak boleh pergi tanpa ditemani mahram. Akhirnya si Fulanah menyerahkan dirinya untuk dinikahi si Fulan.”

Saudara kami sesama Muslim, orang-orang Syiah mengamalkan taqiyah ketika mereka menggunakan kalimat fulanah, bukan menyebut langsung nama Aisyah. Atau mereka memakai kode tanda kurung kosong atau titik-titik. Semua itu termasuk cara taqiyah mereka.

Salah satu bukti yang menguatkan kalau yang dimaksud dengan kalimat fulanah adalah Aisyah, ialah riwayat-riwayat dusta yang dikemukakan oleh Syiah. Di sana disebutkan, “Sesungguhnya ketika turun firman Allah surat Al-Ahzab ayat 6,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Qs. Al-Ahzab: 6).

dan Allah mengharamkan kaum muslimin atas istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sepeninggal beliau, Thalhah marah-marah. Ia mengatakan, “Kami diharamkan atas istri-istri Muhammad. Sementara ia bisa menikahi wanita-wanita kami. Seandainya nanti Muhammad telah dimatikan oleh Allah, kami akan benar-benar bergoyang di antara gelang-gelang istrinya, sebagaimana ia bergoyang di antara gelang-gelang wanita kami.”

Riwayat tadi juga dikemukakan oleh Al-Bahrani dalam Al-Burhan, jilid. III, hal. 333-334, oleh Sulthan Al-Janabidzi dalam Bayan As-Sa’adah, jilid III, hal. 253, Zainuddin An-Nabathi dalam As-Shirath Al-Mustaqim, jilid. III, hal. 23 dan 25.

Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berbuat zina oleh seorang ulama Syiah yang bergelar Al-Hafidz Rajab Al-Barsi dalam kitabnya Masyariq Anwar Al-Yaqin, hal. 86, cet. Al-A’lami – Bairut, ia mengatakan, “Sesungguhnya Aisyah berhasil mengumpulkan uang sebanyak empat puluh dinar dari hasil perselingkuhan, lalu ia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membenci Ali.”

Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berzina oleh seorang ulama Syiah, Al-Majlisi ketika ia mengemukakan suatu riwayat yang menyebutkan, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha dan Ali Radhiyallahu 'anhu pernah tidur satu ranjang dan dalam satu selimut, dalam kitabnya Bihar Al-Anwar, jilid XI, Daar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Bairut. Riwayat selengkapnya ialah, Ali bercerita, “Aku bepergian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak membawa seorang pelayan pun selain aku. Dan beliau hanya membawa selembar selimut satu-satunya. Aisyah ikut bersama beliau. Beliau tidur dengan posisi diapit oleh Aisyah dan aku. Kami bertiga dalam satu selimut. Ketika bangun untuk melakukan shalat malam, beliau menurunkan selimut dengan tangannya dari bagian tengah antara aku dan Aisyah, sehingga selimut menyentuh alas yang ada di bawah kami.”



B. Tuduhan Keji Syiah Terhadap Umar Radhiyallahu 'anhu

Orang-orang Syiah menuduh bahwa Umar menderita penyakit di anusnya yang hanya bisa disembuhkan dengan air kencing laki-laki. Tuduhanya yang menjijikkan ini diceritakan oleh Al-Allamah Syiah, Ni’matullah Al-Jazairi dalam kitabnya Al-Anwar An-Nu’maniyah, jilid I, bab. I, hal. 63, cet. Al-A’lami – Bairut. Mereka juga menyatakan bahwa Umar suka disodomi.

Seorang ulama Syiah ahli tafsir Syiah, Al-Iyasyi dalam kitabnya Tafsir Al-Iyasyi, jilid. I, hal. 302 dan seorang ulama Syiah yang juga ahli tafsir, Al-Bahrani dalam kitabnya Al-Burhan, jilid I, hal. 416, bahwasanya seseorang menemui Abu Abdillah. Ia mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika, wahai Amirul Mukminin.” Seketika Abu Abdillah berdiri dan berkata, “Jangan begitu. Itu tadi adalah nama yang hanya patut bagi Ali 'Alaihis salam. Siapapun selain beliau yang disebut seperti itu dan ia suka, berarti ia orang yang tidak punya rasa malu. Dan jika tidak suka, berarti ia sedang diuji. Dan itulah makna firman Allah dalam kitab-Nya surat An-Nisa’ ayat 117, “Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syetan yang durhaka.”

Orang itu bertanya, “Lalu apa yang harus aku ucapkan kepada Al-Qaim anda?”

Abu Abdillah menjawab, “Ucapkan kepadanya, ‘Assalamu ‘alaika, wahai yang sisa (keuntungan) dari Allah. Assalamu ‘alaika, wahai putra Rasulullah’.”

Padahal telah diketahui bahwa Umar Al-Faruq Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang pertama kali dipanggil Amirul Mukminin.

Al-Allamah Syiah, Zainuddin An-Nabathi dalam kitabnya Ash-Shirath Al-Mustaqim, jilid. III, hal. 28, menghina Umar bin Khathab dengan mengatakan, “Asal usul Umar adalah orang jahat…. Neneknya adalah seorang pelacur.”

C. Tuduhan Keji Syiah Terhadap Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu

Seorang ulama Syiah, Zainuddin An-Nabathi dalam kitabnya Ash-Shirath Al-Mustaqim, jilid. III, hal. 30, bahwasanya seorang perempuan dihadapkan kepada Utsman untuk dijatuhi hukuman had. Dan setelah menggauli perempuan tersebut, Utsman menyuruh untuk menjatuhkan hukuman rajam kepadanya.

Dalam sumber yang sama ia juga mengatakan, “Sesungguhnya Utsman Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang bisa dipermainkan. Dan bahwasanya ia adalah seorang yang banci.”

Tuduhan keji tersebut juga dikemukakan oleh Ni’matullah Al-Jazairi dalam kitabnya Al-Anwar An-Nu’maniyah, jilid. I, bab. I, hal. 65, cet. Tauzi’ Al-A’lami – Bairut.

Referensi: Mengungkap Hakikat Syiah, Agar Tidak Terpedaya, Abdullah Al-Mushili, hal. 123-129. [syiahindonesia.com].

Thursday, January 27, 2011

Tata pergaulan dengan orang tua kita




قال تعالى : ( وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما) صدق الله العظيم

Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ( Al Israa': 17)


Pemikiran Grotius Tentang Negara





Grotius merupakan ahli pemikir besar tentang negara dan hukum. Dia dianggap sebagai peletak dasar pertama, atau pelopor, bahkan pencipta daripada hukum alam modern. Meskipun Grotius adalah seorang pemeluk agama yang tekun, dan sangat percaya dengan adanya tuhan, namun dalam pengantar dari bukunya terlihat keangkuhan serta kelantangan dalam ucapanya, sebagai berikut:


“ Bahawa tuhan sendiri tidak dapat mengadakan perubahan suatu apapun pada kebenaran, bahawasanya dua kali dua itu adalah empat. Dengan demikian dapatlah ditunjukkan suatu lapangan yang berlaku umum, disamping keadaan terpecah belah di lapangan agama itu. Hukum alam itu adalah suatu peraturan dari akal murni dan kerana itu demikian tetapnya, hingga tuhan sendri tak dapat merubahnya. Sebab bagaimanakah boleh terjadi bahawa yang maha esa dapat bertindak bertentangan dengan apa yang patut menurut akal. Dalam kekuasaan pemikiran itu manusia mendapati kunci untuk pedoman hidup yang bernilai moral. Bahkan seandainya tuhan itu tidak ada, atau tidak memperdulikan manusia, maka akal itu akan memimpin manusia. Akal itu berlaku dengan tidak bergantung pada kekuasaan yang ghaib.”


Dengan demikian maka fisafat Grotius tentang negara dan hukum adalah suatau usaha untuk mengatasi segala perpecahan di lapangan agama, dengan berdasarkan akal manusia yang berlaku umum itu. Bahkan tidak hanya terbatas pada kaum kristien sahaja, melainkan juga berlaku untuk mengikat semua orang kafir dan atheis.(ilmu negara ms; 95)


Monday, January 24, 2011

Hamza Yusuf – Islam and Woman

,




.

Maulana Wahiduddin Khan On Women in Islam




Director of the New Delhi-based Centre for Peace and Spirituality, editor of the monthly Al-Risala journal and author of almost two hundred books, Maulana Wahiduddin Khan is one of India’s best known Islamic scholars. In this interview with Yoginder Sikand, he talks about issues related to Islam and women.

You have written extensively on the issue of Islam and women. Contrary to many traditional ulema, you argue the case for gender equality in Islam. How does your approach differ from that of most traditionalist scholars?

The approach of the traditionalists is based largely on the corpus of medieval fiqh, while my understanding is based on a direct reading of the principal or original sources of Islam—the Quran and the authentic Hadith. The former, by and large, uphold what can be called the Muslim cultural tradition that developed in the medieval period of Muslim history. So, I would call mine a scriptural approach and theirs a cultural approach.

Take, for instance, the institution of the burqa, which many traditionalists stress as essential for Muslim women. The burqa is part of Muslim culture, but is not mentioned or advocated in the Quran. Another example is the traditionalist ulema’s insistence that women and un-related men cannot, or should not, talk to each other, on the grounds that, so they say, a woman’s voice is aurah, or something to be kept concealed from such men. This notion is absent in the original sources of Islam. In fact, there are many hadith reports that tell us that there was considerable intellectual exchange between men and women at the time of the Prophet. For instance, Ayesha, one of the wives of the Prophet, regularly spoke to or addressed many of the Prophet’s Companions, on a vast range of issues. They used to come to her for guidance and discussion. According to one report, whenever the Companions faced a problem to which they could find no answer they would approach Ayesha. So, how, then, can it be said that a woman’s voice is aurah?

I am not aware of any authentic hadith that describes a woman’s voice as aurah. If the traditionalists have any such proof of their claim, they must offer it. But even supposing, hypothetically, they are able to come up with such proof, we need to redefine or reinterpret it in the present context, and also by taking account the accepted principle, recognised by Islamic scholars, that sometimes ‘necessity makes the unlawful lawful’. We are living in a vastly different age today, where there is simply no escape from hearing the voice of women!

Many traditionalist scholars often cite a Quranic verse that describes men as the qawwam of their wives to argue that this means that men are their superiors and that women must be subordinate to them. How do you interpret the term qawwam?

It is a universal principle that everywhere—in government, in a business, in a school or whatever—there has to be a manager to handle practical affairs or else there will be chaos. This applies to the family also. This role of manager of affairs is what is actually meant by qawwam. It does not at all imply subordination or degradation, or any sort of hierarchy. Rather, it is simply a formula for overall management and administration of the family. In my own home my daughter is the qawwam. She runs the affairs of the house. She is the manager of the house. So, it does not mean that a woman cannot be the qawwam of her house.

Unfortunately, many scholars translate the term qawwam to mean that the man is the hakim or ruler of the house, as if he can be some sort of dictator. Many Quranic commentaries give a completely wrong interpretation of the term. Some go to the extent of describing husbands as the majazi khuda or ‘symbolic god’ of their wives. This is really a sign of deep-rooted patriarchy and deviation from Islamic teachings. It is a biddat or wrongful innovation

We have the model of the Prophet Muhammad to explain the correct meaning of the term qawwam. His first wife Khadjiah looked after him when he was in distress. He worked for her, in the business that she ran. He took the advice of another of his wives, Umm Salamah, on many issues, contrary to some Muslim scholars, who argue, without any convincing proof, that a Muslim man may take the advice of his wife but must do precisely the opposite of what she recommends. The Quran also approvingly mentions the case of the Queen of Sheeba, who was the ruler of Yemen.

One can cite several other examples to suggest that the Quran does not call for women’s subordination to men, unlike what some traditionalist Muslim scholars as well as critics of Islam claim, and contrary to what their rendering of the term qawwam suggests. Thus, for instance, although the Caliph Umar issued a fatwa calling upon women not to pray in mosques, his wife refused to listen to him and he could not stop her because that was her Islamic right. Barirah, the wife of Mughis, a Companion of the Prophet, once came to the Prophet in order to seek a divorce from her husband. The Prophet advised her against this, to which she responded by asking him if that was his personal opinion or the command of God. When the Prophet replied that it was his own view, she told him that she did not agree, and so the Prophet arranged for her to be separated from her husband.

Traditionalist scholars (as well as critics of Islam) contend that the Quran allows husbands to beat (dharaba) their wives if they are disobedient. How do you respond to this argument?

The dharaba that the Quran refers to is simply a token pat, not wild hitting. One hadith report suggests that this should be done with a tooth-stick (miswak), which implies that it is not meant to be any sort of serious beating. According to another hadith report, contained in the Masnad of Imam Ahmad, no prophet ever beat his wives. Sometimes, the Prophet Muhammad had problems with some of his wives but yet he never beat them.

The Deobandi-dominated All-India Muslim Personal Law Board (AIMPLB) projects itself as the sole authority as regards Muslim Personal Law matters (most of which impinge on Muslim women) in India. What do you feel about this organization, particularly its stance on Muslim women’s issues?

The claim that the AIMPLB is the spokesman of all the Muslims of India is completely false. In fact, it does not have any mass base. It is, to my mind, just a bunch of maulvis who have put a stamp on themselves, projecting themselves as leaders while they have little contact with the masses. They might represent just themselves, but certainly not all or most of the Indian Muslims.

Permit me to say this, but I regard the traditionalist maulvi class as, to a very large extent, responsible for the backwardness of the Muslims of this country—and not just as far as women’s issues are concerned. They have little knowledge of the complexities of the contemporary world and so cannot address modern problems or interpret Islam in a manner that would appeal to modern minds. But, I see signs of change all around now. Increasingly, Muslims are refusing to listen to those fatwas of theirs which they find outlandish, and are marching ahead in the race for modern education. Even the sons of leading maulvis are choosing not to become traditional maulvis but, instead, are entering universities. I hope that augurs well for the future and that modern-educated Muslim scholars would be in a better position to interpret Islamic teachings, including about women, in a proper manner.

PS: Several English writings of Maulana Wahiduddin Khan are available on the Internet. See http://www.alrisala.org and http://www.cpsglobal.org

Sumber: http://theislamawareness.blogspot.com/

Pancasila




Bab I Hubungan Pancasila Dengan UUD 1945

Bab ΙΙ Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Bab ΙΙΙ Pancasila Sebagai Idiologi

Bab IV Pancasila Sebagai Etika

BAB 1

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945

Pembukaan UUD 1945 bersama-sama dengan Undang-Undang Dasar 1945 diundangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No 7, ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Inti dari Pembukaan UUD 1945, pada hakikatnya terdapat dalam alinea IV. Sebab segala aspek penyelenggaraan pemerintah negara yang berdasarkan Pancasila terdapat dalam Pembukaan alinea IV.

Oleh karena itu justru dalam Pembukaan itulah secara formal yuridis Pancasila ditetapkan sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia.Maka hubungan antara Pembukaan UUD 1945 adalah bersifat timbal balik sebagai berikut[1]:-

1) Hubungan Secara Formal

Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD 1945, maka Pancasila memperolehi kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan demikian tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas-asas sosial, ekonomi, politik akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religus dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam Pancasila.

Jadi berdasarkan tempat terdapatnya Pancasila secara formal dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Bahwa rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.

(2) Bahwa Pembukaan UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah, merupakan Pokok Kaedah Negara yang Fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan yaitu:

(a) Sebagai dasarnya,karena Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberi faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.

(b) Memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.

(3) Bahwa dengan demikian Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi, selain sebagai Mukaddimah dari UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga berkedudukan sebagai suatu yang bereksistensi sendiri, yang hakikat kedudukan hukumnya berbeda dengan pasal-pasalnya.Karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya adalah Pancasila adalah tidak tergantung pada Batang Tubuh UUD 1945,bahkan sebagai sumbernya.

(4) Bahwa Pancasila dengan demikian dapat disimpulkan membunyai hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi sebagai Pokok Kaedah Negara yang Fundamental, yang menjelmakan dirinya sebagai dasar kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.

(5) Bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945, dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap dan tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.

2) Hubungan Secara Material

Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila selain hubungan yang bersifat formal, sebagaimana dijelaskan di atas juga hubungan secara material sebagai berikut:

Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, maka secara kronologis, materi yang dibahas oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila baru kemudian Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama Pembukaan UUD 1945 BPUPKI membicarakan dasar filsafat Negara Pancasila berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD 1945.

Jadi berdasarkan urutan-urutan tertib hukum Indonesia Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumberkan pada Pancasila, atau dengan lain perkataan Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia. Hal ini berarti secara meterial tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi sumber bentuk dan sifat.

Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan Pembukaan UUD 1945 sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, maka sebenarnya secara material yang merupakan esensi atau inti sari dari Pokok Kaidah Negara Fundamental tersebut tidak lain adalah Pancasila ( Notonagoro, tanpa tahun : 40 )

BAB II

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

  1. Pengertian Filsafat

Kata dan istilah filsafat didalam bahasa Arab adalah Falsafah. Secara etimologi kata falsafah berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang terdiri atas dua suku kata yakni philen yang artinya mencari atau mencintai dan Sophia, artinya kebenaran atau kebijaksanaan.

Jadi philosophias berarti daya upaya pemikiran manusia untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Dari istilah tersebut jelas bahwa orang yang berfilsafat ialah orang yang mencintai kebenaran atau mencari kebenaran dan bukan memiliki kebenaran.

Dalam arti praktis, filsafat ialah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat ialah berpikir, tetapi berpikir secara mendalam, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya dan sungguh-sungguh tentang hakikat sesuatu.[2]

Beberapa definisi Filsafat :

1. Plato (427 SM-348 SM). Ahli Filsafat Yunani, Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.

2. Aristoteles (382-322 SM), murid Plato : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, poltik dan estetika

3. Al Farabi (870-950 M) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.

Cabang-Cabang Falsafat

Adapun cabang-cabag falsafat yang polkok adalah sebagai berikut ;

1. Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis, yang meliputi bidang –bidang, ontology, kosmologi, dan antropologi.

2. Epistemology, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.

3. Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu pengetahuan.

4. Logika, yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.

5. Estetika, yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan.

Berdasarkan cabag-cabag fisafat inilah kemudian muncullah berbagai macam aliran dalam fisafat.[3]

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Pancasila adalah sebuah sistem karena sila-sila pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Esensi seluruh sila-silanya juga merupakan suatu kesatuan. Pancasila berasal dari kepribadian Bangsa Indonesia dan unsur-unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak dahulu. [4]

Secara garis besar Pancasila adalah suatu rialita yang keberadaan dan kebenarannya tidak dapat diragukan. Inti Pancasila yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, karakyatan dan keadilan harus menjadi pedoman dan tolak ukur bagi seluruh kegiatan kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan Bangsa Indonesia. Pancasila adalah dasar negara, ideologi, kepribadian, jiwa, pandangan hidup Bangsa Indonesia.

Filsafat negara kita adalah Pancasila, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari-hari. Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden Soekarno, Pancasila pada hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat indonesia. “Dengan adanya kemerdekaan Indonesia, Pancasila bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebenarnya Pancasila itu bangkit kembali”.

Sebagai pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah asas-asas Pancasila disampaikan kepada generasi baru melalui pengajaran dan pendidikan. Pancasila menunjukkan terjadinya proses ilmu pengetahuan, validitas dan hakikat ilmu pengetahuan (teori ilmu pengetahuan). Pancasila menjadi daya dinamis yang meresapi seluruh tindakan kita, dan kita harus merenungkan dan mencerna arti tiap-tiap sila dengan berpedoman pada uraian tokoh-tokoh nasional, agar kita tidak memiliki tafsiran yang bertentangan. Dengan Pancasila sebagai filsafat negara dan bangsa Indonesia, kita dapat mencapai tujuan bangsa dan negara kita.

Pancasila Dalam Pendekatan Filsafat

Untuk mengetahui secara memndalam tentang Pancasila, perlu pendekatan filosofis. Pancasila dalam pendekatan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefenisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila dalam bangunan bangsa dan negara Indonesia ( Syarbaini dalam Winarno). Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam dan mendasar, kita harus mengetahui sila-sila yang membentuk Pancasila itu. Berdasarkan pemikiran filsafati, Pancasila sebagai filsafat pada hakikatnya merupkan suatu nilai ( Kaelan dan Winarno). Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945 Alenia IV adalah sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha ESa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusuwaratan / Perwakilan

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Kelima sila dari Pancasila pada hakikat nya adalah satu nilai. Nilai-nilai merupakan perasan dari Pancasila tersebut adalah :

1. Nilai Ketuhanan

2. Nilai Kemanusiaan

3. Nilai Persatuan

4. Nilai Kerakyatan

5. Nilai Keadilan

Makna Nilai dalam Pancasila

1. Nilai Ketuhanan

Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinanbangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.

2. Nilai Kemanusiaan

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.

3. Nilai Persatuan

Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..

4. Nilai Kerakyatan

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

5. Nilai Keadilan

Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah.

BAB III

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Pancasila sebagai ideologi merupakan bagian terpenting dari fungsi dan kedudukan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi adalah kumpulan ide-ide yang muncul dan muncul dan tumbuh dalam suatu pemerintahan Negara. Membicarakan pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan dipandang perlu dalam rangka mencari titik temu dalam rangka menyamakan dan menyerasikan orientasi, persepsi dan penghayatan terhadap ideologi pancasila dalam berbagai bidang kehidupan.

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagai mana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah Indonesia.

Secara kualitas pancasila sebelum di syahkan menjadi dasr filsafat negaralain-lainnya telah ada yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri Negara Indonesia menggangkat nilai-nilai tersebut dirumuskan secra musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan piagam Jakarta yang memuatkan pancasila yang pertama sekali, kemudian dibahas lagi da;lam sidang BPUPKI kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara dibahas serta disempurnakan kembali akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 di Syahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia.

a) Ideologi Terbuka

Ideologi terbuka merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Pengertian Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Dasar 1945, yang mengatakan.

“…terutama bagi Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok ini diserah kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya merubahnya, dan mencabutnya.” . Ciri ideologi terbuka adalah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.

b) Ideologi Tertutup

Ideologi tertutup itu merupakan suatu pemikiran tertutup. Suatu ideologi dapat dikenali dari beberapa cirri khas Ideologi itu bukan citi-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan merupakan cita-cita suatu kelompok orang yang mendasri suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat.

Dengan demikian menjadi ciri ideologi tertutup bahwa atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masysrakat. Demi ideologi masyarakat harus berkorban, dan kesediaan untuk menilai kepercayaan ideologis para warga masyarakat. Jadi cirri khas ideologi tertutup adalah bahwa betapapun besarnya perbedaan antara tuntutan bebagai ideologi yang memungkinkan hidup dalam masyarakat itu, akan selalu ada tuntutan mutlak bahwa orang akan selalu taat kepada ideologi tersebut.

BAB IV

PANCASILA SEBAGAI ETIKA

Pancasila yang ditetapkan oleh para pendiri Negara memuat nilai-nilai luhur dan mendalam, yang menjadi pandangan hidup dan dasar Negara. Nilai-nilai pancasila secara bertahap harus benar-benar diwujudkan dalam perilaku kehidupan Negara dan masyarakat.

Di dalam tatanan nilai kehidupan bernegara, ada yang disebut sebagai nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.

1. Nilai Dasar

Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak. Kita menerima nilai dasar itu sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-Nilai dasar sandiri dalam Pancasila adalah Nilai-nilai dari sila-sila Pancasila. Nilai dasar itu mendasari semua aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar bersifat fundamental dan tetap.

2. Nilai Instrumental

Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya terbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.

3. Nilai Praksis

Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai Praksis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia.

Nilai dalam Kehidupan Berbangsa

Sumber nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini juga merupakan norma dasar yang mengatur hubungan antara manusia sebagai individu dan anggota kelompok dan sesamanya, Negara, pemerintah serta bangsa lain di dunia.

Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai,mendasari dan memimpin perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia yang berdaulat penuh dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila merupakan nilai luhur bangsa Indonesia. Karena itu, nilai yang terkandung dalam sila-silanya merupakan petunjuk yang harus kita ikuti dan kita kerjakan agar menjadi warga Negara yang baik.

Pancasila sebagai moral perorangan, moral bangsa, dan moral Negara mempunyai pengertian :

1. Dasar Negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada dan berlaku.

2. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat yang beraneka ragam sifatnya.

3. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia serta yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain.



[1] Prof. Dr. Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila , Penerbit “ Paradigma” Yogyakarta edisi 2008, hlm. 172

[2] http://ary-education.blogspot.com/2008/11/pancasila-sebagai-sistem-filsafat.html

[3] Prof. Dr. Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila , Penerbit “ Paradigma” Yogyakarta edisi 2008, hlm. 57

[4] Drs. Usionu, MA Pancasila: membangun karakter bangsa.Hijri pustaka utama,Ciputat Jakarta. 2007 hlm.112.