Saturday, April 16, 2011

PARTAI ISLAM PEMILIHAN YANG SEMAKIN RASIONAL



Hampir 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim. Namun, faktanya, partai-partai Islam tak pernah menjadi kekuatan politik mayoritas di Indonesia.


Pemilu 9 April lalu kembali menegaskan kenyataan tersebut. Partai-partai Islam hanya mampu menembus papan tengah atau berada pada posisi medioker. Sebagian bahkan merosot angkanya. Karena konflik internal, atau sebagian lagi karena pecah dan melahirkan partai baru yang menggerogoti suara partai induk.


Fakta ini semakin menegaskan bahwa “politik aliran”—sebuah istilah yang dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geert—remuk redam. Ideologi Islam dalam politik kepartaian tak mampu menarik angka mayoritas. Walhasil, politik yang dibentuk, didasarkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai tradisional agama sudah tak lagi relevan.


Di sini, partai-partai Islam dipahami dalam dua jenis. Yang pertama adalah partai Islam dengan platform Pancasila namun mengandalkan basis Islam atau punya hubungan historis-sosiologis dengan ormas-ormas Islam, contohnya PKB dan PAN. Yang kedua adalah partai Islam yang platform dan ideologinya Islam, antara lain PPP dan PKS.


Sejarah pemilu di Indonesia mengkonfirmasi kegagalan partai-partai Islam memperoleh dukungan mayoritas. Di masa Orde Lama, pada pemilu pertama tahun 1955, partai-partai Islam—terdiri dari Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII, dan Perti (ditambah dua partai Islam kecil: Tarekat Islam dan AKUI)—memperoleh 44 persen kursi di parlemen atau sekitar 39 persen suara. Selain tak mencapai mayoritas, jumlah tersebut juga tak pernah meningkat di pemilu-pemilu sesudahnya.


Pada pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru, perolehan suara partai-partai Islam secara kolektif adalah 27,11 persen. Selanjutnya, berdasarkan kebijakan penyederhanaan sistem kepartaian, partai Islam disatukan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada pemilu 1977, perolehan PPP adalah: 29,29 persen, dan turun drastis menjadi 15,97 persen pada pemilu 1987.


Kebijakan depolitisasi Islam oleh Orde Baru dinilai berpengaruh terhadap turunnya suara partai Islam. Maka, ketika pintu demokratisasi dibuka, perolehan suara partai-partai Islam pun meningkat. Pada pemilu tahun 1999—pemilu pertama setelah runtuhnya otoritarianisme Orde Baru pada 1998—jumlah suara 10 partai Islam dalam pemilu tersebut adalah 37,59 persen suara. Lima tahun kemudian, pada pemilu 2004, sebanyak 7 partai Islam secara keseluruhan memperoleh suara sebesar 38,35 persen. Jumlah keseluruhan suara partai Islam agaknya secara maksimal hanya bisa mencapai kisaran 30-40 persen.


Pada pemilu 2009 ini, jumlah suara partai-partai Islam kembali turun drastis. Setidaknya, berdasarkan angka sementara, keseluruhan suara partai-partai Islam yang lolos parliamentary threshold adalah: 23,1 persen (PKS 8,1 persen, PPP 5,2 persen, PKB 5,1 persen, dan PAN 4,7 persen). Angka ini tentunya menurun tajam dibanding perolehan suara seluruh partai Islam pada pemilu 2004. Apa sebab?


Bahtiar Effendy (“Islamic parties have long been at an impasse” dalam The Jakarta Post, Jumat, 17 April 2009) punya jawaban menarik tentang kegagalan partai Islam dalam kotestasi politik di Indonesia. Pertama, ketidakmampuan partai-partai Islam menerjemahkan identitas ideologi ke dalam program-program nyata. Sehingga, publik tak melihat sama sekali adanya perbedaan antara partai-partai sekuler dengan partai-partai agama (Islam).


Kedua, seperti partai-partai lain, partai-partai Islam menderita perpecahan internal. Ini menyulitkan mobilisasi. Selain itu, melahirkan kesan di tengah masyarakat tentang inkonsistensi para politisi partai-partai Islam. Dakwah mereka bahwa Islam menekankan persatuan dan persaudaraan, tak terwujud dalam praktik politik mereka.


Ketiga, kegagalan para pemikir dan praktisi partai untuk menyadari bahwa keadaan negara telah berubah dibanding tahun 1940 dan 1950-an yang masih ideologis. Situasi negara sekarang menjadi lebih pragmatis. Sesuatu yang material dan terlihat kini dianggap lebih penting daripada sesuatu yang bersifat abstrak dan batiniah, seperti ideologi.


Lantas, masih relevankah kehadiran partai-partai Islam di pentas politik Indonesia? Menyadari kenyataan mayoritas penduduk Indonesia yang Muslim, kehadiran partai-partai Islam dalam kontestasi politik nasional tak bisa ditampik. Partai-partai Islam kemungkinan besar masih akan ada dalam pemilu-pemilu mendatang. Alasannya?


Pada satu sisi, partai Islam masih menjadi saluran aspirasi politik sebagian umat Islam Indonesia yang masih percaya bahwa Islam mengandung segalanya, termasuk politik. Pada aras lain, eksistensinya terjaga karena masih terdapat sejumlah politisi Muslim yang percaya bahwa simbol-simbol agama dapat digunakan untuk mendulang suara.


Akan tetapi, melihat perkembangan sosial-politik kontemporer, selayaknya para politisi partai-partai Islam segera melakukan koreksi dan evaluasi diri. Ini penting agar kehadiran partai-partai Islam tak sekadar menjadi “buih” (semata menambah jumlah partai-partai kecil) di dalam sistem politik Indonesia kini yang multi-partai.


Laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI), “Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009”, pada September 2008 lalu menemukan bahwa pemilih Muslim Indonesia pada dasarnya rasional. Artinya, persepsi tentang kompetensilah yang menjadi dasar pilihan terhadap partai, dan bukan identitas. Dan, partai-partai non-Islam dipersepsikan oleh pemilih Muslim bukan hanya lebih Pancasilais, tapi juga secara umum lebih kompeten (punya program dan figur yang dipercaya) dan empati (peduli atau perhatian) pada rakyat.


Dengan demikian, hanya partai yang mampu menjaga rasionalitaslah yang akan mendapat dukungan besar dari pemilih Muslim maupun non-Muslim Indonesia. Ini yang semestinya disadari oleh para elite politik partai-partai Islam.


Hal penting lainnya adalah bahwa meningkatnya dukungan pada satu partai Islam, diikuti oleh menurunnya suara partai-partai Islam lain. Ini mengindikasikan bahwa kenaikan dukungan satu partai Islam terjadi dengan menggerogoti partai-partai Islam yang lain. Artinya, di posisi medioker, partai-partai Islam ini menjadi ”kanibal” satu sama lain, demikian kesimpulan LSI.


Jalan apa yang kemudian tersedia? Pertama, LSI merekomendasikan agar partai Islam keluar dari captive market-nya dengan merambah konstituen baru yang selama ini bernaung di rumah-rumah partai nasionalis. Artinya, partai Islam harus mengekplorasi dan menawarkan program-program untuk kesejahteraan rakyat yang lebih terukur, dan tidak lagi mengandalkan retorika yang menguatkan sentimen keagamaan.


Kedua, mengingat kepemimpinan masih menjadi basis penting dalam politik, partai-partai Islam perlu memperkuat diri dengan para pemimpin yang mumpuni (capable) dan berpengaruh. Belajar dari sejarah, demikian Bahtiar, ”tak adanya figur-figur yang kuat dan karismatik seperti Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, Wahid Hasyim, Idham Cholid, Subchan ZE, Zamroni (dan banyak lainnya), membuat para konstituen mengalihkan dukungannya pada Susilo Bambang Yudhoyono atau bahkan Megawati Soekarnoputri.”


Akhirnya, masa depan partai-partai Islam terletak pada kemauan dan kesiapan para pemimpinnya untuk berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan politik Indonesia kontemporer. Jika tidak, kita mungkin perlu mengucapkan selamat tinggal pada partai-partai Islam. (Testriono)


http://www.ppim.or.id/main/kolom/detail.php?artikel=20090501161726

No comments:

Post a Comment